Laporan PPL di SMAN 1 Sangatta

Senin, 31 Mei 2010

BIMBINGAN KARIER SECARA KELOMPOK

BIMBINGAN KARIER SECARA KELOMPOK


Artikel
Disusun untuk memenuhi tugas pribadi
Matakuliah: Bimbingan dan Konseling
Dosen Pembimbing: Khusnul Wardan M.Pd


Disusun
oleh
Arbani





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SENGATA
STAIS KUTIM
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, karena berkat Rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan artikel yang berjudul ”Bimbingan Karier Secara Kelompok” ini tepat pada waktunya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Terima kasih saya ucapkan kepada:
1. Bapak Khusnul Wardan M.Pd selaku dosen matakuliah Bimbingan Konseling, yang telah memberikan tugas dan membimbing dalam penyusunan artikel ini.
2. Seluruh teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan artikel ini.
3. seluruh pihak yang telah membantu penyusunan artikel ini, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penyusunan artikel ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas matakuliah Bimbingan dan Konseling dan sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa. Dengan terselesaikannya artikel ini diharapkan dapat mempermudah para mahasiswa untuk mempelajari dan memahami materi tentang ” Bimbingan Karier Secara Kelompok”.
Penulis menyadari artikel ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak terutama dari dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini. dan semoga ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi bahan bacaan yang menambah wawasan, Amin Ya Rabbal Alamin.....


Sengata, 21 Februari 2010

Penyusun
A. PENDAHULUAN
Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, maka perlu direncanakan secara matang. Program Bimbingan Karier bertujuan untuk membantu anak dalam merencanakan karier di masa mendatang, agar karier yang dipilih sesuai dengan bakat, minat, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.
Jika orang memperoleh karier yang tepat, maka hidup orang akhirnya akan bahagia.Dan kebahagiaan adalah tujuan hidup semua orang. Oleh sebab itu bimbingan karier sejak usia dini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tugas pendidikan.
Menurut Herr dan Cramer ( dalam Isaacson, 1985 ) pekerjaan memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan ekonomis, sosial, dan psikologis. Secara ekonomis orang yang bekerja akan memperoleh penghasilan atau uang yang bisa digunakan untuk membeli barang dan jasa guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.Secara sosial orang yang memiliki pekerjaan akan lebih dihargai oleh masyarakat daripada orang yang menganggur.
Secara sosial orang yang bekerja mendapat status sosial yang lebih terhormat daripada yang tidak bekerja. Lebih jauh lagi orang yang memiliki pekerjaan secara psikologis akan meningkatkan harga diri dan kompetensi diri.Pekerjaan juga dapat menjadi wahana yang subur untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki individu.
Pekerjaan tidak serta merta merupakan karir.Kata pekerjaan ( work, job, employment ) menunjuk pada setiap kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa ( Isaacson, 1985 ); sedangkan kata karier ( career ) lebih menunjuk pada pekerjaan atau jabatan yang lebih ditekuni dan diyakini sebagai panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang, serta mewarnai seluruh gaya hidupnya ( Winkel, 1991 ). Maka dari itu pemilihan karir lebih memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang daripada kalau sekedar mendapat pekerjaan yang sifatnya sementara waktu.
Mengingat betapa pentingnya masalah karir dalam kehidupan manusia, maka sejak dini anak perlu dipersiapkan dan dibantu untuk merencanakan hari depan yang lebih cerah, dengan cara memberikan pendidikan dan bimbingan karir yang berkelanjutan.
Dalam artikel ini akan dibahas pentingnya bimbingan karier secara kelompok di sekolah Dasar, menengah baik yang dilakukan di dalam kelas maupun yang dilakukan di luar kelas. Semoga memberikan pencerahan serta manfaat dalam proses pembelajaran kita semua.

B. BIMBINGAN KARIER SECARA KELOMPOK
1. Pengertian Bimbingan Karier
Menurut Miller dalam Roosdi Achmad Syuhada (1998:15) Bimbingan didefinisikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu-individu dalam mencapai pemahaman dan pengarahan diri (Guidance is the proces of helping individualis achieve the self understanding and self and direction) sedangkan karier diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan-pekerjaan, jabatan-jabatan dan kedudukan yang mengarah pada dunia kerja (Dewa Ketut Sukardi, 1987:18), sedangkan bimbingan karier dapat didefinisikan suatu proses pemberian bantuan kepada individu-individu dalam mencapai penanaman dan pengarahan diri pada pekerjaan, jabatan dan kedudukan yang dimiliki oleh individu. Bimbingan karier adalah proses bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat memahami diri, memahami nilai-nilai, memahami
lingkungan, mengenal masalah dan cara mengatasi, serta dapat merencanakan masa depan (Depdikbud Provinsi Jateng; 1991:4).
Dalam bukunya Dewa Ketut Sukardi (1987:22), mendefinisikan Bimbingan Karier adalah bantuan layanan yang diberikan kepada individu-individu untuk memilih, menyiapkan, menyesuaikan dan menetapkan dirinya dalam pekerjaan yang sesuai serta memperoleh kebahagiaan daripadanya. Berkaitan dengan sekolah, bimbingan karier dapat dipandang sebagai suatu proses perkembangan yang berkesinambungan yang membantu terutama dalam hal perencanaan karier, pembuatan keputusan, perkembangan ketrampilan/ keahlian informasi karier, dan pemahaman diri.
Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa bimbingan karier adalah suatu proses bantuan, layanan informasi dan pendekatan terhadap individu/ kelompok individu agar dapat mengenal dan memahami dirinya, mengenal dunia kerja untuk menentukan pilihan karier, mampu untuk mengambil keputusan karier dan mengakui bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat/ sesuai dengan keadaan dirinya dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan karier yang akan ditekuninya.
2. Orientasi Dasar
Dalam merencanakandan mengelola program bimbingan karier pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diperlukan orientasi dasar yang memberikan arahan yang jelas pada program tersebut. oleh kerena itu dapat digunakan adaptasi matriks.
Orientasi dasar (khusus) masing-masing jenjang pendidikan adalah:
a. SD (Penyadaran karier) : siswa mengenal dunia kerja dan dirinya sendiri, serta menyadari pentingnya kerelaan untuk bekerja secara bertanggung jawab.
b. SLTP (Ekspolrasi karier) : siswa mengenal dunia kerja dan dirinya sendiri secara lebih luas dan mendalam dan memahami pentingnya perencanaan masa depan.
c. SLTA (Persiapan kerja) : siswa mengenal dunia kerja, lingkungan pendidikan lanjutan dan diri sendiri dalam kaitan satu sama lain, terutama apabila siswa mulai memikirkan secara serius kemungkinan untuk memasuki bidang jabatan tertentu.
3. Bimbingan Karier di luar kelas
Penyelenggaraan Bimbingan Karier secara kelompok yang diberikan di sekolah-sekolah dapat dilakukan melalui:
a. Ceramah dari nara sumber
Kegiatan yang dilakukan bersumber dari pembimbing, konselor, guru, maupun dari nara sumber (pihak dunia kerja), dalam rangka memberikan penerangan tentang informasi yang lebih banyak tentang pekerjaan, jabatan dan karier.
b. Diskusi Kelompok
Suatu pendekatan yang kegiatannya bercirikan sutu keterkaitan pada suatu pokok masalah/ pertanyaan (dalam hal ini perencanaan karier/ pekerjaan/ karier), dimana siswa sejujurnya berusaha untuk memperoleh kesimpulan setelah mendengarkan, mempelajari dan mempertimbangkan pendapat siswa yang lain secara jujur.
c. Pengajaran Unit
Merupakan teknik dalam membantu siswa untuk memperoleh pemahaman tentang suatu pekerjaan tertentu, melalui kerjasama antara pembimbing dan guru bidang studi. Namun dengan pola ini sudah barang tentu perlu adanya jam tersendiri yang khusus disediakan untuk keperluan kegiatan bimbingan karier.
d. Sosiodrama
Suatu cara yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendramatisasi sikap, tingkah laku/ penghayatan seseorang seperti yang dilakukannya dalam reaksi sosial sehari-hari dimasyarakat sehubungan dengan pekerjaan dan karier.
e. Karyawisata karier yang diprogramkan oleh sekolah
Berkarya/ bekerja dan belajar sambil berwisata untuk membawa para siswa belajar dan bekerja pada situasi baru yang menyenangkan, dengan demikian akan tumbuh sikap menghargai pekerjaan yang diamatinya.
f. Informasi melalui kegiatan Kurikuler secara Instruksional.
Pemberian informasi tentang pekerjaan, jabatan, karier dengan cara mengaitkan/ dipadukan dengan mata pelajaran/ kegiatan belajar mengajar.Dalam kaitan ini tiap guru dapat memberikan bimbingan karier pada saat-saat mengajarkan pelajaran yang berkaitan dengan suatu karier tertentu.
g. Hari Karier (Career Days)
Hari-hari tertentu yang dipilih untuk melaksanakan berbagai bentuk kegiatan yang bersangkut paut dengan pengembangan karier. Pada hari tersebut semua kegiatan bimbingan karier dilaksanakan berdasarkan program bimbingan karier yang telah ditetapkan oleh sekolah untuk tiap tahun. Dari ketujuh cara pelaksanaan bimbingan karier tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan bimbingan karier pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan program yang telah digariskan oleh sekolah setiap tahunnya. Tidak semua cara pelaksanaan tersebut dilakukan.

4. Bimbingan karier di dalam kelas
Bimbingan karier didalam kelas dapat dilakukan dengan mengajarkan siswa menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan bimbingan karier dan buku lainnya yang berkaitan dengan dunia kerja.
5. Bimbingan Karier untuk SD
Bimbingan karier secara kelompok di sekolah dasar dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti:
a. Mengenalkan perbedaan antar kawan sebaya;
b. Menggambarkan perkembangan diri siswa;
c. Menjelaskan bahwa bekerja itu penting bagi kehidupan sesuai dengan tuntutan lingkungan;
d. Mengenalkan ketrampilan yang dimiliki siswa;
e. Menjelaskan macam-macam pekerjaan yang ada di lingkungan sekolah;
f. Menggambarkan kegiatan setelah tamat SD;
g. Mengenalkan kegiatan-kegiatan yang menarik;
h. Mengenalkan alasan orang memilih suatu pekerjaan, dan bahwa pilihan itu masih dapat berubah;
i. Mengenalkan macam-macam pekerjaan yang dilakukan orang dewasa;
j. Menjelaskan bahwa kehidupan masa depan dapat direncanakan sejak sekarang;
k. Mengenalkan bahwa seseorang dapat memiliki banyak peran;
l. Menjelaskan bahwa pekerjaan seseorang itu dipengaruhi oleh minat dan kecakapannya;
beberapa cara di atas bisa di terapkan pada anak-anak Sekolah Dasar kelas 1-3, sedangkan untuk anak kelas 4-6 dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menjelaskan manfaat mencontoh orang-orang yang berhasil
b. Melatih siswa menggambar kehidupan di masa yang akan datang
c. Membimbing diskusi mengenai pekerjaan wanita dan pria
d. Menjelaskan jenis-jenis ketrampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu
e. Melatih siswa membayangkan hal-hal yang akan dilakukan pada usia kira-kira 25 tahun kelak
f. Membimbing siswa tentang macam-macam gaya hidup dan pengaruhnya
g. Menjelaskan tentang pengaruh nilai yang dianut dalam pengambilan keputusan
h. Membimbing siswa untuk memperkirakan bahwa meneladan tokoh panutan dapat mempengaruhi karier
i. Melatih siswa merencanakan pekerjaan apa yang cocok pada masa dewasa
j. Membimbing siswa berdiskusi tentang pengaruh pekerjaan orang terhadap kehidupan anak
k. Melatih siswa melihat hubungan antara minat dan kemampuan
l. Mengenalkan bermacam-macam cara untuk menilai kemajuan prestasi
m. Mengenalkan macam-macam pekerjaan yang ada di lingkungan sekitar
6. Bimbingan karier di Sekolah Menengah
Ditingkat SLTP maupun SLTA bidang bimbingan karier diarahkan untuk:
a. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan
b. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya
c. Orientasi dan Informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
d. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA
e. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.
f. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk ketrampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja
( instansi, perusahaan industri ) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

http://bruderfic.or.id/h-62/perencanaan-karier-sejak-dini.html
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH0134/c9699bef.dir/doc.pdf
http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/08/modelbimbingankarir.html
http://re-searchengines.com/0208trimo1.html
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH8069/3fa687c1.dir/doc.pdf
http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=1
http://downloads.ziddu.com/downloadfile/8103683/Hartono-BIMBINGANKARIRBERBASISKOMPUTER.zip.html

Sabtu, 15 Mei 2010

PERBEDAAN NIAT DALAM SHALAT BERJAMAAH DAN HUKUM MENGGUNAKAN BARANG GADAI

TUGAS PRIBADI MASAIL FIQH


Dosen Pembimbing: Mustatho’ M.Pd













Disusun
Arbani









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SENGATA
STAIS KUTIM
2010

PENDAHULUAN
Sebagai seorang muslim tentu kita tidak bisa terlepas dari persoalan ibadah, baik itu ibadah maghdah maupun ibadah yang sifatnya gairu maghdah, baik itu persoalan ibadah maupun prsoalan muamalah. ayat pertama yang turun adalah perintah untuk membaca, membaca dalam arti luas, oleh kerena itu diharapkan pengetahuan agama kita dari waktu ke waktu mestilah di tingkatkan, agar hal- hal yang tidak kita ketahui di masa yang lalu dapat kita ketahui di masa sekarang. agar ibadah yang kita lakukan menjadi sempurna dan terhindar dari kesalahan. artikel singkat ini adalah beberapa persoalan yang pernah terjadi pada penulis dimasa yang lalu, di saat penulis tidak tahu bagaimana hukumnya, yang pertama adalah dalam persoalan ibadah dan yang kedua adalah dalam persoalan muamalah. dalam persoalan ibadah penulis akan mengulas tentang bagaimana hukumnya jika antara imam dan makmum berbeda niat dalam mengerjakan shalat berjamaah, misalkan imam shalat fardhu, dan makmum shalat sunnah atau sebaliknya. dan yang kedua adalah dalam persoalan muamalah yakni memanfaatkan barang gadai atas se izin yang menggadaikan barang..
PEMBAHASAN
A. Sewaktu Saya sholat sunnah, dari belakang ada yang menjadi makmum dengan menepuk pundak saya terlebih dahulu. Bagaimana sikap Saya yang benar dan apa hukumnya.?
[Jawab]
Perbedaan niat imam dan makmum
Fenomena yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin Indonesia adalah manakala seorang sholat sunnah sendiri, misalnya sholat sunnah ba'diyah, atau sholat fardlu sendiri kemudian datanglah seseorang yang bermakmum kepadanya dengan menepuk pundak si mushalli pertama, sahkah sholat seperti ini? Permasalahan ini dalam kitab fikih dibahas dengan judul perbedaan niat imam dan makmum. Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.
Pendapat pertama adalah madzhab Syafi'I mengatakan bahwa sah sholat jamaah dengan perbedaan niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam sholat dhuhur dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla, semuanya sah, asalkan format sholat imam dan makmum sama. Kalau formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam sholat gerhana dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini merupakan madzhab yang paling longgar.
Pendapat kedua adalah madzhab Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang berbeda niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum dengan imam yang sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling ketat.
Pendapat ketiga adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang sholat sunnah di belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya. Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda dengan sholat imamnya meskipun sama-sama fardlu.
Dalil-dalil:
Dalil pendapat pertama adalah:
1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w. keluar untuk mendamaikan satu persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau sholat mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami dikelompok kedua. Diriwayatkan itu sholat maghrib.
Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.
2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".
Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.
3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".
Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.
Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.
Dalil pendapat kedua dan ketiga:
1. Hadist diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda "Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika ia sholat berdiri maka berdirilah …
Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.
2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnyaAllah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".
Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.
Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.
Bagi pengikut madzhab Syafi'I, ketika sholat sendiri kemudian merasa ada makmum yang datang mengikutinya, hendaknya ia tidak menunggu makmum tersebut, misalnya dengan memperpanjang bacaan dlsb, tapi hendaknya ia konsentrasi penuh dengan sholatnya.
Bagi yang bermakmum kepada orang yang sholat sendiri atau sholat sunnah, ada baiknya makmum menepuk pundak mushalli. Menepuk pundak mushally [orang yang salat] adalah sebuah isyarat adanya seseorang yang hendak bermakmum kepadanya. Demikian ini agar ia melakukan niat menjadi imam. Karena tanpa niat tersebut ia tidak mendapatkan pahala berjamaah. Sementara jamaah itu sendiri adalah sah, tanpa ada niat dari imam, selama makmum telah berniat jamaah. Jadi, niatnya imam hanya untuk dirinya sendiri, agar ia mendapatkan pahala berjamaah.
Untuk wanita yang ingin berjamaah dengan seseorang yang masbuk, ia boleh menepuk pundak jika dirasa tidak menimbulkan fitnah. Dan jika dirasa demikian, ia boleh memberi isyarat apapun yang dapat dipahami oleh masbuk tsb. atau jika sulit, tak perlu ia memberi isyarat. mengetahuinya imam akan adanya seseorang yang bermakmum kepadanya tidak merupakan syarat sah-nya berjamaah. Ketentuan ini tidak untuk salat Jum'at. Karena di antara syarat sahnya salat jumat adalah dilaksanakan secara berjamaah. Pada salat Jum'at ini, imam harus berniat jamaah sejak takbiratul ihram.


2. beberapa bulan yang lalu pernah ada seseorang yang meminjam uang sebesar 400 ribu rupiah kepada saya, dengan jaminan sebuah HP senilai 400 ribu rupiah pula, lalu atas se izinnya saya di perbolehkan menggunakan barang tersebut. sekarang bahaimana hukumnya mengunakan barang gadaian atas se izin penggadai tersebut?
jawab:

Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas (pen))
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512).
Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)
Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilah yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut.
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
berdasarkan uraian di atas tidak di perbolehkan menggunakan barang gadaian kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah


DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayid. 2001.Fiqih sunnah jilid 12-14. Kuala Lumpur: Victory Agencie
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/tinjauan-umum-tentang-pegadaian-menurut-islam/
http://www.pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/hukum-hukum-perdagangan/534-tentang-gadai-al-rahn.html

TALFIQ DALAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Matakuliah: Masail Fiqh
Dosen Pembimbing: Mustatho’ M.Pd













Disusun oleh kelompok I
Ahmad Syukran
Arbani









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SENGATA
STAIS KUTIM
2010
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, dan mengklaim kebenaran. Padahal para Imam besar itu tak pernah menganut madzhab tertentu apalagi mengklaimnya. Sebut saja namanya Fulan, saat ia melangsungkan ijab-qabul dengan gadis pujaannya, Fulan menikahi tanpa kehadiran wali si gadis, ketika ia ditanya alasannya, Fulan menjawab,”Saya berpegang kepada madzhab Imam Hanafi, yang membolehkan menikahi seorang gadis tanpa wali”.

Pernikahan itu pun berjalan aman dan lancar, hingga suatu ketika, entah karena setan sedang menguasai dirinya atau memang istrinya yang tidak menjalankan kewajibannya, terlontarlah sebuah lafadz yang mampu menggetarkan arsy Allah, thalak (cerai), tak tanggung-tanggung, Si Fulan langsung menthalak tiga istrinya dengan satu lafadz thalak. Saat ia ditanya lagi, ia menjawab,”Dalam kasus thalak ini saya berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, yang menganggap sah satu lafadz dengan niat thalak ba’in (thalak tiga yang mengharamkan ruju’ kecuali setelah istrinya menikah dan dicerai oleh orang lain)”.
Menilik kasus diatas, mungkinkah terjadi dalam kehidupan nyata? Jawabannya, sangat mungkin, karena dipicu oleh beberapa faktor penyebab ; Pertama: Kejahilan (baca ketidaktahuan) seseorang dalam memahami ajaran agamanya, Kedua , Keinginan nafsunya yang ingin menang dan benar sendiri dengan mencari legitimasi atas perilaku salahnya, Ketiga, Lingkungan pemahaman dan pengamalan Islam yang kurang sehat, dimana ia setiap hari beraktifitas di dalamnya.
Gambaran cerita di atas menggambarkan peristiwa talfiq, apa itu talfiq, bagaimana hukumnya, dan begaimana pendapat para ulama tentangnya, akan dibahas dalam makalah ini.


II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi acuan penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan talfiq?
2. Apa sajakah yang menjadi ruang lingkup talfiq?
3. Bagaimanakah Sudut pandang Ulama tentang talfiq?
4. Bagaimanakah Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq?
5. Bagaimanakah Bentuk Talfiq yang diperbolehkan?
6. Bolehlah Meneliti dan memilih pendapat yang ringan?
III. TALFIQ DALAM ISLAM
A. Definisi Talfiq

Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Usul al-fiqh:
1. Talfiq berarti, mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah(rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampuradukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
2. Beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
3. Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
4. Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .
contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudlu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudlu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudlunya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudlu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok .
2. Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudlu, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudlu seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun .
Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syaraiat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.
Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama` .

2. Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
B. Ruang lingkup talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah (ibadah mahdloh), karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan dlorurot. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
3. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.
C. Sudut pandang Ulama tentang talfiq:
Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, dikarenakan tidak ada dalil yang jelas tentang perbolehan atau larangan untuk bertalfiq, sebagian pendapat para ulama adalah sebagai berikut:
1. Syeih Syihab Al-Romly dari golongan Syafi`iyyah berpendapat, ketika Madzhab sudah dibukukan dan ada seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yg lain itu diperbolehkan. Dan juga ketika seseorang bertaqlid pada satu mujtahid kemudian dalam beberapa masalahan yg lain dia ikut mujtahid yang lain lagi itu juga diperbolehkan, akan tetapi tidak dengan alasan mengambil rukhsoh
2. Demikian juga Syeih Abdul Ro`uf Al-Manawy dari golongan Syafi`iyyah juga dalam kitab karangan beliau Syarhu Al-Jami` Al-Shoghir berpendapat, bahwasanya talfiq yg di dalamnya terkandung dua hakikat yang kompleks (murokkab) maka itu tidak diperbolehkan karena menyalahi ijma`.
3. Imam Walidy dari kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwasanya seseorang itu tidak berkewajiban mengikuti satu madzhab yang ditentukan, dan diperbolehkan untuk dia mengikuti pendapat imam madzhab lain.
4. Imam Ghozali berpendapat untuk melarang praktek talfiq dengan alasan beliau bahwasanya hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syariat menurut beliau datang untuk mengekang liarnya atau tidak terkontrolnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara yang diperbolehkan seseorang untuk mengikuti pada selain madzhabnya, itu harus dikembalikan kepada syari‘at, bukan kepada hawa nafsu belaka. Beliau menyitir ayat Al-Quran yang berbunyi:
artinya :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt” .
5. Imam `Izzudin bin Abdi Al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil ruhshoh beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan beliau bahwa agama Allah itu mudah (dinu allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan”.
6. Imam Al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
D. Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .
Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yang menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya untuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.
Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas (shorih) atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al Baqoroh ayat 185 yang artinya :“Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.
E. Bentuk Talfiq yang diperbolehkan
Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri . Dan ketentuan kebolehan taklid itu sendiri ialah, ketika memang benar benar membutuhkan dan darurat sekali, serta tidak bermain main atau sengaja mengambil kemudahan dengan tanpa pertimbangan kemaslahatan syari`at. Dan talfiq ini juga terbatas pada sebagian hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, mu`amalah dan ijtihadiyah, bukan pada masalah qot`iyyah (yang telah pasti). Sesungguhnya kebenaran tentang kebolehan talfiq dan pelarangannya, dapat ditinjau dari aspek yang ditimbulkannya. Yang pertama, apabila sesuatu tersebut mengahantarkan kepada sesuatu yang menghancurkan harapan dari kemaslahatan syari’ah dan ketetapan atas kebijaksanaan syari’ah itu sendiri, maka hal seperti inilah yang dilarang dan dinilai membahayakan. Dan yang kedua, apabila sesuatu perkara tersebut bersifat membaguskan dan menggunakan kebijaksanaan syari’ah itu sendiri untuk menyenangkan manusia di dua sudut permasalahan dengan kemudahan pelaksanaan ibadah atasnya dan menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka hal yang seperti ini yang diperbolehkan.

F. Meneliti dan memilih pendapat yang ringan
Setelah kita membahas banyak tentang talfiq di atas tadi, tak lengkap kiranya kalau kita tidak membahas permasalahan tentang meneliti dan memilih pendapat yang ringan, karena permasalahan ini dengan talfiq seperti mata rantai yang tak mungkin terpisahkan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, bahwasannya dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama` pada masalah-masalah tersebut .

Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut di dalam madzhab-madzhab, karena hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Imam Ibnu Abdu Al-Barr dan Ibnu Hazm berpendapat, tidak diperbolehkan kepada orang awam mengikuti pendapat yang ringan-ringan secara keseluruhan, dikarenakan menyebabkan pemutusan pembebanan disetiap masalah yang diperselisihkan didalamnya.
Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yg rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.
Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama.

Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Menanggapi tentang permasalahan di atas, Syeih Muhammad Al-Baghdadi menyebutkan beberapa sebab pelarangan talfiq bagi orang Awam yaitu sebagai berikut ;
1. Ditakutkan terjadinya sesuatu yang dilarang yang akan menyalahi kesepakatan Ulama’ (ittifaq).
2. Tidak disahkannya orang awam melakukan taqlid kecuali pendapatnya (fatwa) dari seseorang yang khusus yang ingin diikutinya.
Sedang menurut imam Nawawi dalam kitab Raudloh karangan beliau, mengutarakan bahwasanya hal seperti itu tidak termasuk fasiq. Mengenai ini imam Al-Izzu bin Abdi Al-Salam juga berkomentar, bahwasannya di anjurkannya seorang awam mengambil pendapat yang paling mudah, karena mengambil rukhshoh tersebut disukai, sebagaimana hadits nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwasannya “ Rosulullah Saw menyukai suatu perkara yang memudahkan umatnya”.
Pada masa sekarang, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, ada yang mengklaim kebenaran masing-masing madzhabnya, mereka mewajibkan para pengikut madzhabnya untuk berpegang teguh kepada madzhab yang dianutnya, mengharuskan mereka untuk mengambil semua pendapat Imam madzhabnya, bila ada seseorang yang mengambil pendapat madzhab lain dalam satu masalah, mereka anggap itu talfiq (mencampuraduk madzhab) dan tidak konsisten.

Jadi mereka sangat terbuka dalam pendapat-pendapat mereka, mari kita simak sebagian perkataan-perkataan mereka ; Imam Malik berkata, Setiap perkataan manusia bisa diikuti, bisa juga dibantah, kecuali pendapat penghuni makam ini (sambil menunjuk makam Rasulullah SAW)”

Imam Syafi’i berkata “Jika kalian mendapati dalam kitabku, pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku”.
Imam Ahmad berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.
Imam Hanafi berkata, “Celakalah kamu, wahai Abu Yusuf, janganlah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dariku, karena kadang saya berpendapat hari ini dan besok aku tinggalkan (berpendapat lain), dan besok aku berpendapat begini, lalu aku tinggalkan lusanya..”.
Sehingga berkembang dikalangan mereka sebuah idiom kala itu bahwa “Jika hadits itu shahih (benar) maka itulah madzhabku” karena para Imam madzhab itu bersepakat bahwa dalam masalah apapun, tanpa terkecuali, akan mereka kembalikan kepada sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wasallam, tanpa mempedulikan pendapat orang, siapapun orang tersebut.

Kesimpulannya, setelah ditelaah maka akan didapatkan bahwa madzhab utama para Imam madzhab tersebut terdiri atas tiga prinsip utama ; Pertama, Keshahihan (validitas) hadits dari rasulullah SAW, Kedua, Jika pendapat mereka bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, maka mereka akan meninggalkan pendapat mereka dan selanjutnya mengambil pendapat Rasulullah SAW, Ketiga, Jika ada hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat mereka dalam suatu masalah, maka mereka akan menarik/mencabut pendapat mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal.

Sehingga tak heran, bila terjadi seorang pengikut salah satu madzhab, justru berpendapat dengan pendapat Imam madzhab lain, seperti terjadi saat Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ yang lebih berpendapat bahwa penafsiran shalat wustha dalam Al Qur’an adalah shalat ashar berdasarkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah SAW dari pada pendapat lain yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat shubuh. Padahal penafsiran shalat wustha dengan shalat shubuh adalah pendapat Imam Syafi’i dimana Imam Nawawi merupakan pengikut Imam Syafi’i (As-Syafi’iyyah). Disini nampak betapa jernih dan rasionalnya cara berfikir Imam Nawawi, jauh dari kesan ‘ashabiyyah (fanatisme sempit), taqlid buta, pokok’e jare ....... (pokoknya kata ..... pasti benar !).

Mereka lebih mengedepankan nash-nash yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam diatas semua pendapat manusia, mereka lebih mengutamakan prilaku dan tindakan Rasulullah dari tindakan siapapun juga karena kedudukan dan martabat Rasulullah jauh lebih tinggi dari kedudukan dan martabat siapapun juga. Betapa tegas dan elegannya pendapat ini sebab pendapat semacam ini akan membuat hati kaum Mu’minin dingin dan tenang karena kebenaran kembali kepada posisinya yang semula.

Contoh kisah diatas adalah sebuah contoh dari talfiq (mencampuraduk madzhab) dalam konotasi yang negatif, dimana si Fulan begitu mudahnya berpindah madzhab, bukan lantaran mengikuti pendapat yang lebih rajih (kuat) tapi lebih karena memilih pendapat madzhab yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya, inilah yang harus kita hindari.

Adapun talfiq dalam pengertian yang positif sebagaimana dipraktekkan oleh para imam madzhab, adalah sebuah keniscayaan dimana setiap Muslim dan Muslimah dituntut untuk mengetahui dan mengamalkannya dalam prinsip ; Muslim bermadzhab “In shahhal hadiitsu fahuwa madzhabi (Jika ada hadits yang lebih shahih, maka itu adalah madzhabku ....”.

IV. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas, di simpulkan:
1. Pengertian Talfiq adalah Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun
2. Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq
3. Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, ada yang membolehkan, ada yang melarang, ada pula yang membolehkan dengan beberapa persyaratan, sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas.
4. larangan talfiq tidak bersifat absolut, kerena tidak ada dalil yang shorih tentang pelarangan tersebut.
5. Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri .
6. Para ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya talfiq dengan alasan kesengajaan mengambil pendapat yang ringan, ada yang membolehkan ada pula yang melarang.
V. DAFTAR PUSTAKA
azharku.wordpress.com
http://kaumsarungan.blogspot.com/
http://gusfathulbari.blogspot.com/2009/12/arsip-pertanyaan-3.html
http://staimaarifjambi.blogspot.com/2009_01_01_archive.html

MY NEW BLOG © 2008 Por *Templates para Você*