Laporan PPL di SMAN 1 Sangatta

Kamis, 10 Juni 2010

KB DALAM PANDANGAN ISLAM

I. PENDAHULUAN
Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari’atkan pernikahan kepada umatnya. dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israi.
Artinya :“Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra :6]
Artinya : “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A'raf : 86]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat (dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)”.
[Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas dirumuskan beberapa rumusan masalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan KB?
2. Bagaimanakah hukumnya?

III. KB dalam Islam
1. Pengertian KB
Pertama, KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).
Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran).
2. Hukum KB
Dari pengertian KB di atas di atas timbul 2 buah hukum tentang KB, yaitu, Hukum melakukan pembatasan kelahiran, dan hukum tentang pengaturan kelahiran.
a. Hukum Tahdid An-Nasl
KB dalam arti sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid anl-nasl), hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga. (Lihat Prof. Ali Ahmad As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, [Mesir : Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur`an], 2002, hal. 53).
KB sebagai program nasional tidak dibenarkan secara syara’ karena bertentangan dengan Aqidah Islam, yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezeqi dari Allah untuk seluruh makhluknya. Allah SWT berfirman :
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya.” (QS Huud [11] : 6)
Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus batil karena tidak sesuai dengan kenyataan. Produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia (Prof. Ali Ahmad As-Salus, ibid., hal. 31).
Teori Malthus juga harus ditolak dari segi politik dan ekonomi global. Karena ketidakcukupan barang dan jasa bukan disebabkan jumlah populasi yang terlalu banyak, atau kurangnya produksi pangan, melainkan lebih disebabkan adanya ketidakadilan dalam distribusi barang dan jasa. Ini terjadi karena pemaksaan ideologi kapitalisme oleh Barat (negara-negara penjajah) atas Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam. Sebanyak 80 % barang dan jasa dunia, dinikmati oleh negara-negara kapitalis yang jumlah penduduknya hanya sekitar 25 % penduduk dunia (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1999).
b. Hukum Tanzhim an-Nasl
KB dalam arti pengaturan kelahiran, yang dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 148).
Dalil kebolehannya antara lain hadits dari sahabat Jabir RA yang berkata,”Dahulu kami melakukan azl [senggama terputus] pada masa Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (HR Bukhari).
Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kaidah fiqih menyebutkan : Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu`, [Semarang : Maktabah Usaha Keluarga], hal. 59).
Kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu (Muttafaq ‘alaih, dari Sa’ad bin Abi Waqash RA). Wallahu a’lam.

IV. ANALISA MASALAH
Menurut Syaikh Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah wajib untuk meninggalkan perkara membatasi kelahiran, beliau tidak memperbolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :
a. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.
b. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.
Sedangkan menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, Alasan di benarkan melakukan Pembatasan kelahiran adalah:
a. Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
b. Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah pemakaiannya membahayakan atau tidak.
Menurut Syaikh Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah tidak boleh melakukan pembatasan kelahiran dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang”. [Fatawa Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?”
Jawaban.
Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya. [Fatawa Mar'ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]
Menurut Lembaga Fatwa Lajnah Ad-Daimah seorang istri tidak boleh menggunakan pil pencegah kehamilan karena takut banyak anak, atau karena harus memberikan tambahan belanja. Tetapi boleh menggunakannya untuk mencegah kehamilan dikarenakan.
a. Adanya penyakit yang membahayakan jika hamil
b. Dia melahirkan dengan cara yang tidak normal bahkan harus melakukan operasi jika melahirkan dan bahaya-bahaya lain yang serupa dengan hal tersebut.
Maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya mengkonsumsi pil pencegah hamil, kecuali jika ia mengetahui dari dokter spesialis bahwa mengkonsumsinya membahayakan si wanita dari sisi lain” [Fatawa Mar'ah Juz 2 hal 53]
a. Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.
b. Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]
Adapun berkaitan dengan ‘azal ketika berjima’ tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
Artinya : “Kami melakukan ‘azal sedangkan Al-Qur’an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam)” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam Al-hilyah 3/61-62]
Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber’azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinnya, yakni seorang suami tidak boleh ber’azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber’azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.
Berdasarkan keterangan ini maka ‘azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri”. [Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juj 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li'umumil Ummah]
[As-sunnah edisi 01/Tahun V/2001M/1421H]

Antara Khuntsa dan Waria serta Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin

Pada dasarnya Allah menciptakan manusia ini dalam dua jenis saja, yaitu laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah swt:

“Dan Dia (Allah) menciptakan dua pasang dari dua jenis laki-laki dan perempuan.“ (Qs An Najm : 45)

“Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.“ (Qs Al Hujurat : 13)

Tetapi di dalam kenyataannya, kita dapatkan seseorang tidak mempunyai status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Bagaimana Islam memandang orang tersebut? Bagaimana cara memperlakukannya? Apakah dia mendapatkan jatah warisan? Dan bagaimana pernikahannya? dan seabrek pertanyaan-pertanyaan lain yang timbul akibat status yang tidak jelas tersebut.


Antara Khuntsa dan Waria

Al Khuntsa, dari kata khanitsa yang secara bahasa berarti: lemah dan lembut. Maka dikatakan: Khannatsa Ar Rajulu Kalamahu, yaitu: laki-laki yang cara bicaranya seperti perempuan, yaitu lembut dan halus. (al Fayumi, al-Misbah al Munir - Kairo, Daar al Hadist, 2003,- hlm : 112)

Al-Khuntsa secara istilah adalah: seseorang yang mempunyai dua kelamin; kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau orang yang tidak mempunyai salah satu dari dua alat vital tersebut, tetapi ada lubang untuk keluar air kencing. (al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 , Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adilatuhu: 8 / 426).

Adapun waria atau dalam bahasa Arabnya disebut al Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan dalam kelembutan, cara bicara, melihat, dan gerakannya. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari.


Waria ini terbagi menjadi dua:

Pertama: orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut sejak dilahirkan, maka tidak ada dosa baginya, karena sifat-sifat tersebut bukan atas kehendaknya, tetapi dia harus berusaha untuk menyesuaikan diri.

Kedua: orang yang sebenarnya laki-laki, tetapi sengaja menyerupai sifat-sifat wanita. Orang seperti ini termasuk dalam katagori yang dilaknat oleh Allah swt dan Rasulullah saw di dalam beberapa hadistnya.

Dari keterangan di atas, bisa dinyatakan bahwa waria bukanlah khuntsa. Karena waria statusnya sudah jelas, yaitu laki-laki, sedang khuntsa statusnya masih belum jelas.

Perbedaan antara istilah khuntsa dan waria seperti yang diterangkan di atas sangat membantu bagi kita untuk membahas hukum-hukum yang menyangkut keduanya.


Cara menetapkan Status Khuntsa

Sudah dijelaskan di atas, bahwa waria itu statusnya adalah laki-laki, maka di sini hanya diterangkan tata cara menetapkan status khuntsa. Namun sebelumnya, perlu disebutkan bahwa khuntsa ada dua macam:

1. Khuntsa Ghoiru Musykil (khuntsa yang mudah ditentukan statusnya)

2. Khuntsa Musykil (khuntsa yang sulit ditentukan statusnya)

Khuntsa Ghoiru Musykil

Untuk menetapkan Khuntsa Ghoru Musykil, para ulama telah menjelaskan cara-caranya, walaupun hal itu belum menjadi kesepakatan ulama. Paling tidak bisa menjadi pedoman awal di dalam menentukan status seorang khuntsa, di antara cara-cara tersebut adalah:

1. Melihat cara keluar air kencingnya.

Bila air kencingnya keluar lewat penis, berarti waria tersebut dihukumi sebagi laki-laki. Sebaliknya jika air kencingnya keluar dari vagina, maka dia dihukumi sebagai perempuan. Bagaimana jika air kencingnya keluar dari keduanya? Bila air kencing tersebut keluar dari kedua alatnya, maka ditentukan dengan yang terlebih dahulu keluar. Jika yang keluar terlebih dahulu dari penis, maka dihukumi laki-laki, begitu juga sebaliknya. Jika keluar air kencingnya bersamaan, maka dilihat mana yang lebih lama keluarnya. Jika keluar dari kedua alat kelamin secara bersamaan dan selesainya juga secara bersamaan, maka khuntsa tersebut dihukumi khuntsa musykil.

2. Melihat cara keluarnya sperma atau air mani.

Bila sperma khuntsa keluar dari alat kelamin lelaki, berarti status hukumnya lelaki dan bila keluar dari vagina berarti statusnya perempuan. Jika keluarnya berubah-ubah, kadang dari alat kelamin laki-laki dan kadang-kadang dari alat kelamin perempuan, maka dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.

3. Keluarnya darah haidh.

Bila seorang khuntsa mengeluarkan darah haidh dari kemaluannya, maka dikatagorikan perempuan, karena laki-laki tidak akan keluar darah haidh dari kemaluanya. Jika ia mengeluarkan darah haidh dari vagina, tetapi dia mengeluarkan kencing dari alat kelamin laki-laki, maka dalam hal ini dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.

4. Kehamilan dan melahirkan.

Bila seorang khuntsa hamil dan melahirkan, maka dihukumi sebagai perempuan.

5. Pertumbuhan organ tubuh.

Bila waria tersebut ia berkumis atau berjenggot, serta mempunyai kecenderungan untuk mendekati perempuan dan mempunyai raca cinta kepada mereka, maka waria tersebut dihukumi sebagai laki-laki. Sebaliknya jika payudaranya tumbuh dan montok, dan mempunyai kecenderungan dan rasa cinta kepada laki-laki, maka dia ditetapkan sebagai perempuan. (Ibnu al Hammam, Fathu al Qadir : 10/515-516, al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168)

Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa Islam pada dasarnya tidak membiarkan seorang khuntsa begitu saja tanpa status, sehingga diambil langkah-langkah untuk menentukan jenis kelaminnya melalui cara-cara di atas. Jika para ulama dan ahli sudah menentukan seorang khuntsa, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempaun, maka status tersebut berlaku baginya untuk mendapatkan hak-haknya, sekaligus dia mempunyai kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana orang laki-laki atau perempuan yang lainnya.

Khuntsa Musykil

Khuntsa Musykil (khuntsa yang sulit ditentukan statusnya), yaitu seseorang yang ditakdirkan Allah mempunyai fisik yang mendua atau memiliki dua jenis alat kelamin; laki-laki dan perempuan, dan kedua-duanya sama-sama dominan, tidak bisa dibedakan lagi mana yang lebih berpengaruh terhadap kepribadiannya.

Untuk Khuntsa Musykil seperti ini, para ulama pun masih berbeda pendapat akan statusnya, terutama di dalam menentukan jatah warisan, cara menikah, dan lain sebagainya.

Hukum Operasi Kelamin

Dalam dunia kedokteran dikenal tiga bentuk operasi kelamin, masing-masing mempunyai hukum tersendiri dalam fikih:

Pertama, operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Operasi ganti kelamin dalam keadaan seperti ini, belum pernah dikenal oleh orang-orang terdahulu. Tetapi para dokter mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari penyakit “transeksual/transgender“, yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki yang seperti wanita atau wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai kelainan fisik/ alat kelamin (genital). Atau dengan istilah lain, bahwa sang penderita atau pasien merasakan bahwa dirinya adalah jenis lain yang bukan pada dirinya. Seakan ia merasakan bahwa jiwanya adalah perempuan, padahal fisiknya adalah laki-laki, atau ia merasakan bahwa jiwanya adalah laki-laki, padahal bentuk fisiknya adalah perempuan. Antara jiwa dan fisik tidak dapat saling menyatu.

Orang yang mempunyai penyakit transeksual ini mempunyai dua keadaan:

Keadaan pertama: Penyakit ini muncul akibat faktor psikologis dan kejiwaan. Hal ini terjadi karena salah dalam pola asuh sejak kecil, atau karena pergaulan yang salah.

Untuk jenis yang pertama ini, penanganannya bukan dengan cara operasi kelamin, tetapi kejiwaannyalah yang harus diobati dan disembuhkan. Penyimpangan psikologis ini kadang muncul sejak kecil, hanya saja sering dianggap remeh, sehingga lama kelamaan menjadi semakin besar dan akhirnya susah untuk diubah, dan ujung-ujungnya menganggap ini sebagai takdir, padahal itu hanya karena kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak kecil dan lama, serta tidak terkait dengan fisiknya.

Islam sejak dini telah mengajarkan kepada kita untuk memisahkan tempat tidur laki-laki dan perempuan ketika sudah berumur 10 tahun, salah satu tujuannya agar mereka tidak berkepribadian ganda di kemudian hari.

Kesimpulannya, bahwa operasi mengubah kelamin dari orang yang mempunyai kelamin normal dalam bentuk yang pertama seperti ini hukumnya haram, karena tidak ditemukan hubungan antara ketidaknormalan fisik atau organ tubuh seseorang. (Dr. Muh. Mukhtar as-Syenkiti, Ahkam al-Jirahiyah at-Tibbiyah, Jeddah, Maktabah as-Shohabah,hlm. 200-202)

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

Pertama: Pada dasarnya, Allah swt telah menciptakan manusia ini dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah swt:


“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.“ (Qs At Tin : 4)

Penciptaan manusia dalam bentuk yang baik tersebut merupakan penghormatan kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam dan Kami bawa mereka di daratan dan di lautan.“ (Qs Al Isra’ : 70)

Oleh karenanya, kita sebagai hamba Allah dilarang untuk mengubah ciptaan-Nya yang sudah sempurna. Larangan ini tersebut di dalam firman Allah swt ketika menceritakan perkataan syetan:


“(Syetan berkata): Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong-motong telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata “ (Qs An Nisa’ : 119)

Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa awal tindakan mengubah ciptaan Allah swt berasal dari bisikan syetan.

Rasulullah saw sendiri bersabda:

“Rasulullah telah melaknat orang-orang laki-laki yang meniru-niru (menyerupai) perempuan dan perempuan yang meniru-niru (menyerupai) laki-laki.“ (HR Bukhari)

Berkata Imam Qurtubi: “ Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih dari Hijaz dan ahli fikih dari Kufah bahwa mengebiri keturunan Adam hukumnya haram dan tidak boleh, karena termasuk dalam katagori menyiksa.“ (Tafsir Qurtubi : 5 / 391)

Kalau mengebiri saja tidak boleh, yaitu perbuatan untuk memandulkan alat kelamin, apalagi mengubah dan menggantikannya, tentunya sangat diharamkan.

Keadaan kedua: waria yang disebabkan adanya perbedaan keadaan psikis dan fisik seseorang, seperti ketidaknormalan sistem tubuh atau terjadi percampuran hormon laki-laki dan perempuan, yang berakibat munculnya perasaan dalam dirinya yang berbeda dengan fisik tubuhnya. Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama: bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaannya seperti ini tetap tidak boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dasarnya adalah ayat-ayat al Qur’an dan hadist-hadits yang telah disebutkan di atas.

Pendapat kedua: bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaanya seperti ini, dibolehkan. Ini adalah pendapat sebagian kecil ulama kontemporer.

Di antara dalil dari pendapat ini adalah sebagai berikut:

1) Menurut kesaksian mayoritas dokter bahwa memang benar adanya orang yang mempunyai penyakit seperti ini, mereka menyebutnya dengan transeksual, yaitu terpisahnya antara bentuk fisik dengan psikis, yaitu bentuk fisiknya adalah laki-laki umpamanya, tetapi perasaannya bahwa dia bukanlah laki-laki. Penyakit ini menyebabkan orang tersiksa dalam hidupnya, sehingga kadang-kadang diakhiri dengan bunuh diri. Pengobatan secara kejiwaan sudah dilakukan berkali-kali oleh para dokter, tetapi tetap saja gagal. Maka tidak ada jalan lain kecuali operasi ganti kelamin.

2) Keadaan seperti ini bisa dikatagorikan darurat. Karena tanpa operasi tersebut seseorang tidak akan bisa hidup tenang dan wajar sebagaimana yang lain, hidupnya akan dirundung kegelisahan demi kegelisahan, dan tidak sedikit yang diakhiri dengan tindakan bunuh diri.

3) Kalau kita perhatikan bahwa yang menyebabkan diharamkannya operasi ganti kelamin secara umum atau dalam keadaan normal adalah karena dua alasan :

Alasan pertama: bahwa hal tersebut termasuk mengubah ciptaan Allah swt, sebagaimana yang tersebut dalam Qs An Nisa’ : 119 di atas.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas, Anas, Ikrimah, dan Abu Sholeh bahwa yang dimaksud mengubah ciptaan Allah adalah mengebiri, mencongkel mata, serta memotong telinga. Sedangkan Imam Qurtubi di dalam tafsirnya dengan menukil perkataan Qhadhi ‘Iyadh bahwa seseorang yang mempunyai jari-jari tangan lebih dari lima atau daging tambahan di dalam tubuhnya, maka tidak boleh dipotongnya, karena termasuk dalam katagori mengubah ciptaan Allah, kecuali kalau jari-jari tangan atau daging tambahan tersebut terasa sakit, nyeri dan menyebabkannya menjadi menderita, maka dalam keadaan seperti ini, diperbolehkan untuk memotongnya. (Tafsir Qurtubi : 5/252)

Perkataan Qadhi ‘Iyadh yang dinukil oleh Imam Qurtubi di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa sesuatu tambahan dalam tubuh yang berupa daging atau yang lain dan menyebabkan sakit si penderita, maka diperbolehkan untuk menghilangkannya, dan hal ini dimasukkan dalam katagori berobat, yang kadang harus mengubah ciptaan Allah swt. Karena sebenarnya yang dilarang dalam masalah ini adalah mengubah ciptaan Allah tanpa ada alasan syar’i atau hanya karena ingin memperindah anggota tubuh saja. Tetapi jika bertujuan untuk mengobati, maka dibolehkan.

Atas dasar keterangan di atas, maka operasi ganti kelamin yang dilakukan oleh orang yang mengidap penyakit transeksual pada jenis kedua ini, bisa dikatakan bahwa organ tubuhnya secara fisik yang ada sekarang adalah organ tambahan, karena tidak sesuai dengan kejiwaan dan perasaannya, sehingga jika diubah menjadi organ yang sama dengan kejiwaan dan perasaannya, maka termasuk dalam proses pengobatan dari rasa sakit yang dialaminya, dan memang tidak ditemukan obat selain operasi ganti kelamin.

Alasan kedua: bahwa operasi ganti kelamin termasuk dalam katagori menyerupai jenis lain yang dilarang oleh Rasulullah saw. Tetapi para ulama telah menjelaskan bahwa yang dilarang dalam masalah ini adalah menyerupai jenis di dalam berpakaian, berhias, bertutur kata dan cara berjalan. Hal ini disimpulkan dari dalil–dalil lain. Oleh karenanya, Imam Nawawi menyatakan bahwa waria yang ada semenjak lahir, tidak termasuk dalam katagori yang dilarang oleh Rasulullah saw, karena mereka tidak bisa meninggalkan gaya-gaya tersebut yang dibawanya dari lahir, walaupun sudah diobati berkali-kali, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari.

Demikianlah beberapa dalil yang diungkapkan oleh kelompok kedua yang membolehkan bagi seseorang yang terkena penyakit transeksual jenis kedua dan tidak bisa diobati lagi secara psikis, maka dibolehkan untuk melakukan operasi ganti kelamin, dan ini termasuk keadaan darurat.

Catatan : Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, supaya tidak terjadi salah paham, bahwa yang dibolehkan adalah orang-orang yang benar-benar punya penyakit seperti ini, tentunya harus direkomendasikan oleh dokter-dokter yang ahli, jujur, dan amanah. Begitu juga setelah melalui rekomendasi para ulama yang diakui amanah dan otorits keilmuaannya.

Hukum tersebut tidak berlaku bagi orang yang melakukan operasi ganti kelamin, hanya karena sekedar iseng, atau hanya sekedar “merasa” dirinya lebih cocok menjadi orang berjenis kelamin yang berbeda dengan keadaannya sekarang, padahal penyakitnya tersebut belum diteliti dan belum ada usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk menyembuhkannya.

Kedua: Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti penis atau vagina yang tidak berlubang. Operasi seperti ini dibolehkan, karena termasuk dalam katagori pengobatan. Karena pada dasarnya manusia itu ciptaannya sempurna, maka jika didapati beberapa bagian anggota tubuhnya tidak normal atau tidak berfungsi, seperti vagina yang tidak berlubang, atau penis yang tidak berlubang sehingga tidak bisa buang air kecil, maka dibolehkan baginya untuk melakukan operasi perbaikan kelamin, dengan tujuan agar salah satu organ tubuhnya tersebut berfungsi sebagaimana yang lain. Rasulullah saw bersabda :

“Wahai hamba-hamba Allah berobatlah, karena Allah menjadikan setiap penyakit itu ada obatnya.“

Jadi operasi kelamin yang cacat sejak kecil atau karena suatu kecelakaan termasuk dalam katagori berobat dan bukan dalam katagori mengubah ciptaan Allah swt.

Ketiga: Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki 2 (dua) jenis kelamin yaitu penis dan vagina.

Orang yang mempunyai kelamin ganda dalam dunia medis disebut “ ambiguous genitalia” yang artinya alat kelamin meragukan. Orang tersebut tidak menderita penyakit “transeksual”, tetapi lebih cenderung kepada interseksual, yaitu suatu kelainan, di mana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Gejalanya sangat bervariasi, mungkin saja tampilan luarnya adalah laki-laki normal atau wanita normal, tetapi alat kelaminnya yang masih meragukan apakah dia laki-laki atau perempuan. Penderita seperti ini memang benar-benar sakit secara fisik, yang kemudian mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Maka, operasi pada orang yang mempunyai kelamin ganda seperti ini dibolehkan, tentunya setelah ada kejelasaan statusnya, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara-cara yang telah diterangkan di atas dan dikuatkan dengan pernyataan para dokter ahli dan amanah. Biasanya operasi dilakukan ketika anak tersebut masih bayi dan belum beranjak dewasa, jika sudah dewasa tentunya akan lebih susah lagi, karena mungkin itu akibat salah pola asuh dan pola interaksi dari lingkungan sekitar.

Karena kalau seseorang dibiarkan dalam status yang tidak jelas, maka sungguh kasihan hidupnya, dan masyarakat pun kesulitan untuk berinteraksi dengannya karena statusnya yang belum jelas, apakah dia itu laki-laki atau perempuan. Oleh karenanya operasi untuk membuang salah satu dari dua jenis kelamin dibolehkan, karena akan membawa kemaslahatan bagi yang bersangkutan dan kemaslahatan bagi masyarakat yang ia hidup di dalamnya.

Di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Sultana Mh Faradz telah diterbitkan Surat Keputusan Men Kes RI No. 191/MENKES/SK/III/1989 tentang penunjukan rumah sakit dan tim ahli sebagai tempat dan pelaksanaan operasi penyesuaian kelamin. Pada tanggal 12 juni 1989 telah dibentuk Tim Pelaksana Operasi Penggantian Kelamin yang terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi, anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internist), ahli genetika, andrologi, psikiater, ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama, dan petugas sosial medik.

Tetapi sejak tahun 2003 ada perubahan kebijakan bahwa Tim Penyesuaian Kelamin hanya boleh melakukan operasi penyesuaian kelamin untuk penderita interseksual --dan tidak pada penderita transeksual-- yang membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital, dan pengobatan. Semua kasus yang datang akan didata, diperiksa laboratorium rutin, analisis kromosom dan DNA, pemeriksaan hormonal, dan test-test lain yang dianggap perlu seperti USG, foto ronsen, dan lain-lain.

Kegiatan tim ini adalah melaksanakan pertemuan rutin secara multidisipliner antara seluruh anggota tim dengan penderita (yang telah selesai dengan pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis) untuk mendiskusikan penatalaksanaan, tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan termasuk pemberian konseling. Wallahu A’lam. [Jakarta, 22 Muharram 1431/ 8 Januari 2010/www.hidayatullah.com]



Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin

dakwatuna.com – Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan memakai kerudung segala. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual. Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang masalah transgender tersebut dan bagaimanakah hukum operasi kelamin serta mengubah-ubah jenis kelamin serta peran dokter dan para medis dalam hal ini. Apa konsekuensi hukum dari pengubahan alat kalamin tersebut misalnya menyangkut pembagian warisan, ibadah dan interaksi sosial.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. []

DIrangkum dari berbagai sumber

Terorisme dalam pandangan islam

Pengantar

Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.


Pengeboman bus turis asing di Kairo, penembakan para turis di Luxor, Mesir, pengeboman kedubes AS di Kenya dan insiden yang serupa merupakan salah satu bentuk aksi-aksi terorisme. Dalam insiden tersebut membuktikan, bahwa ribuan nyawa manusia yang tidak berdosa raib akibat ulah para teroris. Orang tua-renta, dewasa, anak muda dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan ideologi.
Pada titik ini, terorisme mendapatkan sorotan serius dari masyarakat dunia, bahwa cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan was-was dan tidak aman. Namun pertanyaan yang muncul kemudian, “siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?”


Pada tahap ini, kita akan memasuki kerumitan tersendiri, sebab identifikasi terorisme tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Apalagi jikalau menyangkut sebuah kelompok atau negara tertentu, dibutuhkan data-data yang akurat dan tepat. Namun, sejauh yang kita amati sampai detik ini, terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk.


Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat perbelanjaan juga dapat dikatagorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal.


Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering disebut-sebut sebagai terorisme dalam katagori ini adalah Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam katagori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian.


Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terorism). Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata.


Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama mencari tumbal dan korban. Yang mencolok dalam terorisme adalah “balas dendam”. Karenanya, terorisme identik dengan kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara serampangan. Pokoke ada korban.
Di sini sebenarnya ranah problematis terorisme. Terorisme ibarat singa yang selalu haus mangsa. Sebagaimana singa, terorisme tidak bisa mengambil “jalan tengah”, melainkan menempuh “jalan pintas”. Sebab para teroris, biasanya melandaskan pada kebutuhan untuk membangun sebuah manara yang disebut “identitas yang tunggal”. Terorisme mengandaikan adanya “absolutisme”, baik dalam tataran suprastruktur maupun struktur.


Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya buruk dan tidak manusiawi.

1. Pengertian terorisme


Sebelum kita membahas tentang terorisme menurut pandangan agama Islam, terlebih dahulu marilah kita pahami tentang pengertian terorisme secara etimologi, Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, artinya :
Terorisme : Adalah Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Teroris : Adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik).
Teror : Adalah perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.


Sedangkan secara terminologi atau istilah terorisme di definisikan sebagai berikut:
a. Semua jenis penghilangan keamanan dari warga sipil, yaitu orang-orang yang tidak terlibat dalam keselamatan orang lain dan bahkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Mereka adalah orang-orang non-militer dan tidak ikut serta dalam tindakan militer.
b. semua langkah yang dilakukan untuk menghilangkan hak hidup semua manusia atau makhluk lain yang tidak melanggar rasa aman orang lain.


Ciri-ciri terorisme:
a. Intimidasi dan pelanggaran atas berbagai jenis keamanan.
b. Niat dan motif yang tidak manusiawi.
c. Ketidakbenaran tujuan dan maksud serta praktek suatu perbuatan menurut ukuran manusiawi.


Dari ciri-ciri terorisme di atas di simpulkan sebuah definisi dari terorisme yaitu:
Terorisme adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk meraih tujuan yang tidak manusiawi dan buruk (mufsid) dan mengancam segala macam jenis keamanan, dan pelanggaran atas hak asasi yang ditegaskan oleh agama atau manusia.


Contoh-contoh terorisme:
a. Pembajakan darat, udara dan laut.
b. Seluruh operasi penjajah yang mencakup perang dan ekspedisi militer.
c. Kediktatoran atas rakyat dan seluruh bentuk perlindungan pada kediktatoran tersebut, belum lagi tindakan pengrusakan mereka pada bangsa.
d. Seluruh tindakan militer yang berlawanan dengan nilai kemanusiaan, seperti penggunaan senjata kimia, penembakan ke daerah sipil, peledakan rumah-rumah. Sesungguhnya, terorisme intelektual mungkin saja salah satu dari jenis terorisme yang paling bahaya.
e. Seluruh gerakan yang merugikan kondisi ekonomi nasional dan internasional, menyengsarakan si miskin dan di malang, memperlebar gap sosio-ekonomi, dan menjerumuskan negara kepada lilitan utang.
f. Konspirasi yang bertujuan melemahkan bangsa yang ingin merdeka dan bebas serta amat membebani mereka.


2. Islam dan terorisme
untuk mengkaji hubungan antara islam dan terorisme marilah kita simak beberapa prinsip keamanan umum dan hak asasi yang berkaitan dengan terorisme menurut sudut pandang Islam yaitu sebagai berikut:

a. Setiap manusia memiliki hak untuk melindungi nyawa, harta, kehormatan dan nama baik mereka. Dilarang melakukan pelanggaran terhadap nyawa, harta, kehormatan dan nama baik orang lain.
Sebagaimana difirmankan: "Dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. 2:190).

b. Setiap manusia memiliki hak yang sama dalam menikmati hak rasa aman. Oleh karenanya, mengganggu atau berlaku tidak adil terhadap keamanan orang lain sama dengan mengganggu keamanan seluruh manusia.
Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang menghilangkan nyawa manusia, bukan karena ia seorang pembunuh ataupun pembuat kerusakan, seolah-olah ia telah menghilangkan nyawa seluruh umat manusia." (QS. 5:32).

c. Orang yang mengganggu hak keamanan orang lain tidak mendapat jaminan hukum keamanan umum sebesar pelanggaran dan penindasannya terhadap hak keamanan orang lain.

Allah Swt berfirman: "Pada setiap yang suci berlaku hukum; barangsiapa yang bertindak jahat kepadamu, hendaklah kamu balas dia sebanding dengan kejahatan yang telah ia timpakan kepadamu." (QS. 2:194).

d. Hukum keamanan umum tidak hanya berlaku pada manusia; hukum ini berlaku juga bagi makhluk hidup, tumbuhan serta makhluk tak bernyawa. Seluruh makhluk mendapatkan hak untuk hidup dan berkembang. Tidak ada satu pun makhluk yang haknya untuk hidup dan berkembang dicabut tanpa alasan. Berikut ini ciri-ciri pembuat keonaran.

"Apabila ia berkuasa, ia akan berusaha berjalan di muka bumi membuat kerusakan di dalamnya dan menghancurkan tumbuhan dan binatang, dan Allah tidak menyukai pembuat kerusakan." (QS. 2:205).

e. Perang hanya boleh dilakukan dengan syarat untuk menentang penindasan kaum penindas dan untuk mencegah terjadinya penindasan atau untuk menghancurkan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, di dalam perang, tidak diperbolehkan mengganggu, merusak, dan menghilangkan keamanan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam golongan para penindas atau keamanan orang-orang yang menjadi korban penindasan.

Diriwayatkan dari Imam 'Ali bin Abi Thalib as bahwa ia memberi nasihat berikut ini kepada pasukannya sebelum berperang melawan musuh pada perang Shiffin. "Janganlah kalian membunuh mereka kecuali mereka memulai peperangan. Karena, atas karunia Allah, kalian berada dipihak yang benar. Dan membiarkan mereka hingga mereka memulai peperangan adalah satu kebaikan bagi kalian. Apabila, atas kehendak Allah, musuh menyerah, janganlah kalian membunuh mereka yang melarikan diri, menyiksa orang-orang yang sudah tak berdaya, menghabisi nyawa mereka yang terluka, dan menyiksa para wanita meskipun mereka mungkin menghina kehormatan kalian dengan ucapan-ucapan kotor serta menyiksa pemimpin-pemimpin kalian." (Nahj al-Balaghah, khutbah 252).

f. Dalam peperangan, para wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia serta warga sipil yang hidup saat itu tidak boleh diganggu atau diperlakukan tidak adil meskipun mereka memiliki hubungan dengan musuh dalam hubungan bernegara dan kewarganegaraan, juga meskipun anak-anak mereka dianggap sebagai musuh di medan perang, yakni sebagai pembela perang. Prinsip ini sangat penting sehingga pelanggaran yang dilakukan para pelaku pelanggaran terhadap wanita, anak-anak, orang lanjut usia, dan warga sipil tidak meluas dan terus berlanjut.

g. Air, kebun, tanah pertanian, peternakan dan semua jenis bangunan non-militer serta semua bangunan yang dapat ditinggali dan semua wujud kehidupan, tidak boleh diganggu atau dirusak. Melakukan perlawanan dan penyerangan terhadap para penyerang tidak menjadikan semua jenis serangan dilancarkan pada bangunan yang dapat ditinggali dan semua wujud kehidupan dan merusak keperluan dan kebutuhan dasar hidup.

h. Dalam keadaan apa pun tidak diperbolehkan merusak alam dan menghalangi makhluk hidup yang memerlukannya, memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhannya. Imam 'Ali as berkata: "Peliharalah anugerah Allah berkenaan dengan ciptaan Allah dan bumi-Nya karena kalian bertanggung jawab atas bumi dan makhluk hidup-Nya." (Nahj al-Balagah, khutbah 165)

i. Ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi kekecualian karena melakukan penindasan dan tidak mendapat jaminan keamanan umum (tidak menjadi jaminan hukum keamanan umum), pengecualian ini tidak berlaku pada sanak saudara serta orang-orang yang bergantung kepadanya, walaupun mereka memiliki hubungan dengan orang atau kelompok orang tersebut dalam hubungan agama, kewarganegaraan, geografi atau negara. "Setiap orang tidak akan mendapat hukuman atas perbuatan yang dilakukan orang lain."

j. Barangsiapa yang tidak mendapat jaminan hukum keamanan umum untuk alasan apa pun, maka kekecualian ini berdasarkan pada hukum keamanan yang dikenakan kepada pelanggar. Oleh karena itu, pelanggaran keamanan terhadap pelaku kejahatan hanya boleh dilakukan dalam batas-batas hukum dan keadilan, dan tidak diperbolehkan melampaui batasan ini.


Diriwayatkan dari Imam 'Ali as ketika ia memerintahkan hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang membunuhnya. "Camkanlah! Sekiranya aku wafat karena tikaman ini, kalian hanya boleh menghukumnya dengan tikaman yang sama. Janganlah kalian menyiksanya karena aku pernah mendengar dari Rasulullah bahwa janganlah kalian menyiksa siapa pun bahkan seekor anjing gila." (Nahjul Balagah, khutbah 285).


Selanjutnya mari kita cermati dan kita tela’ah kembali ajaran Islam, agama yang diridlai Allah SWT, sebagai petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia yang sedang kita jalani sekarang ini, maupun kebahagiaan hidup yang haqiqi di akhirat kelak.
Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW dengan membawa agama Islam di tengah-tengah manusia ini sebagai rahmat, dan merupakan suatu kenikmatan yang besar bagi manusia bukan suatu mushibah yang membawa malapetaka. Allah SWT berfirman :

Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba' : 28]

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara … [QS. Ali Imran 103]

Oleh karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada Allah atas diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa dinul Islam ini. Karena hanya dengan Islamlah manusia di dunia ini dapat hidup rukun, damai dan saling menebarkan kasih sayang. Dengan mengabaikan Islam, maka dunia akan kacau-balau, terorisme timbul di mana-mana seperti sekarang ini. Agama Islam yang suci ini dibawa oleh Rasulullah yang mempunyai kepribadian yang suci pula, serta memiliki akhlaqul karimah dan sifat-sifat yang terpuji, sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, antara lain :

Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. [QS. Ali Imran : 159]

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [QS. At-Taubah : 128]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat berat atas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliau berusaha keras untuk membebaskan dan mengangkat penderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut.

Rasulullah SAW bersabda :

Dari ‘Aisyah istri Nabi SAW, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang dan senang kepada kasih sayang, dan Dia memberi (kebaikan) pada kasih sayang itu apa-apa yang Dia tidak berikan kepada kekerasan, dan tidak pula Dia berikan kepada apapun selainnya”. [HR. Muslim juz 4, hal. 2003

Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaran Islam. Dan orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baik akhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no. 20874]

Dan apabila Allah mencintai kepada seorang hamba, Allah memberinya kasih sayang (kelemah-lembutan). Dan tidaklah suatu keluarga yang terhalang dari kasih sayang, melainkan mereka terhalang pula dari kebaikan. [HR. Thabrani dalam Al-Kabiir juz 2, hal. 306, no. 2274]

Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa ada seorang ‘Arab gunung kencing di masjid, lalu orang-orang marah, dan akan memukul sebagai hukuman. Kemudian melihat kemarahan para shahabat tersebut, beliau bersabda :

Biarkanlah dia, dan siramlah pada bekas kencingnya itu seember atau setimba air, karena sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberi kemudahan bukan diutus untuk membuat kesukaran/kesusahan. [HR. Bukhari juz 1, hal. 61]
Dalam sabdanya yang lain :
Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan gembirakanlah dan jangan kalian membuat manusia lari”. [HR. Bukhari, juz 1, hal. 25 ]

Setelah kita cermati kembali tentang dinul Islam sekaligus peribadi Rasulullah SAW yang diamanati oleh Allah SWT untuk menyebarkan dinul Islam ke seluruh ummat manusia, maka jelas sekali bahwa terorisme sama sekali tidak dikenal, bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Terorisme dengan menggunakan kekerasan, kekejaman serta kebengisan dan cara-cara lain untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri pada manusia untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Islam dengan lemah-lembut, santun, membawa khabar gembira tidak menjadikan manusia takut dan lari, serta membawa kepada kemudahan, tidak menimbulkan kesusahan, dan tidak ada paksaan.
Bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa dalam peperangan pun Nabi SAW berpesan kepada para shahabat, sabda beliau :

Hai manusia, janganlah kamu menginginkan bertemu dengan musuh, dan mohonlah kepada Allah agar kalian terlepas dari marabahaya. Apabila kalian bertemu dengan musuh, maka bershabarlah dalam menghadapi mereka, dan ketahuilah bahwasanya surga itu dibawah bayangan pedang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1372

Pesan Nabi SAW tersebut menunjukkan betapa kasih sayang beliau terhadap jiwa manusia, sekalipun dalam peperangan sedapat mungkin menghindari bertemu musuh agar tidak terjadi marabahaya. Namun kalau terpaksa bertemu dengan musuh, jangan takut dan jangan dihadapi dengan hawa nafsu yang melampaui batas, tetapi hendaklah dihadapi dengan shabar dan tabah, karena surga di bawah bayangan pedang.

Memang kedua hal tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Terorisme biasanya digunakan untuk tujuan politik, kekuasaan, sedangkan Islam bertujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya dengan dilandasi rasa kasih sayang hanya semata-mata mengharap ridla Allah SWT.

Rasulullah membina dasar tauhid pada ummat manusia + 10 tahun di Makkah dengan penuh tantangan, tindak kekejaman dan terorisme dilakukan oleh orang-orang musyrikin dan kafirin Makkah terhadap Nabi dan para pengikutnya. Namun teror-teror yang dilakukan oleh mereka tidak menjadikan kaum muslimin takut, malah makin bertambah kuat dan mendorong lebih dekat dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT.

Nabi SAW telah memperingatkan juga bahwa sesama muslim adalah saudara dan haram darahnya, haram kehormatannya dan haram hartanya. dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Allah dan praktek Rasulullah dalam menggalang ummat, serta menghindari terorisme dalam mencapai tujuan. Dengan demikian, jelas dan teranglah bahwa Terorisme dalam pandangan agama Islam tidak dibenarkan, dan jauh dari tuntunan Islam. Semoga bermanfaat.


KESIMPULAN


Secara bahasa terorisme adalah Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). sedangkan secara istilah terorisme adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk meraih tujuan yang tidak manusiawi dan buruk (mufsid) dan mengancam segala macam jenis keamanan, dan pelanggaran atas hak asasi yang ditegaskan oleh agama atau manusia.


Ciri-ciri terorisme:
a. Intimidasi dan pelanggaran atas berbagai jenis keamanan.
b. Niat dan motif yang tidak manusiawi.
c. Ketidakbenaran tujuan dan maksud serta praktek suatu perbuatan menurut ukuran manusiawi.


Islam adalah ajaran yang menentang adanya terorisme, banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang berbicara tentang pentingnya menjaga hak orang lain, baik berupa hak rasa aman, hak untuk melindungi nyawa, harta, kehormatan dan nama baik mereka. Dilarang melakukan pelanggaran terhadap nyawa, harta, kehormatan dan nama baik orang lain. Berdasarkan firman Allah:


Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang menghilangkan nyawa manusia, bukan karena ia seorang pembunuh ataupun pembuat kerusakan, seolah-olah ia telah menghilangkan nyawa seluruh umat manusia." (QS. 5:32).


Terorisme berbeda dengan gerakan perjuangan membela negara dan membebaskan diri dari penjajahan. Hal ini bisa kita lihat dari ciri-ciri terorisme, gerakan perjuangan perjuangan membela negara dan membebaskan diri dari penjajahan memiliki motif dan tujuan yang mulia dan manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia.


Bentuk-bentuk terorisme ada bermacam-macam
pertama bersifat personal.
Kedua, terorisme yang bersifat kolektif.
Ketiga, terorisme yang dilakukan negara.

Dirangkum dari berbagai sumber

MY NEW BLOG © 2008 Por *Templates para Você*