Laporan PPL di SMAN 1 Sangatta

Sabtu, 15 Mei 2010

TALFIQ DALAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Matakuliah: Masail Fiqh
Dosen Pembimbing: Mustatho’ M.Pd













Disusun oleh kelompok I
Ahmad Syukran
Arbani









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SENGATA
STAIS KUTIM
2010
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, dan mengklaim kebenaran. Padahal para Imam besar itu tak pernah menganut madzhab tertentu apalagi mengklaimnya. Sebut saja namanya Fulan, saat ia melangsungkan ijab-qabul dengan gadis pujaannya, Fulan menikahi tanpa kehadiran wali si gadis, ketika ia ditanya alasannya, Fulan menjawab,”Saya berpegang kepada madzhab Imam Hanafi, yang membolehkan menikahi seorang gadis tanpa wali”.

Pernikahan itu pun berjalan aman dan lancar, hingga suatu ketika, entah karena setan sedang menguasai dirinya atau memang istrinya yang tidak menjalankan kewajibannya, terlontarlah sebuah lafadz yang mampu menggetarkan arsy Allah, thalak (cerai), tak tanggung-tanggung, Si Fulan langsung menthalak tiga istrinya dengan satu lafadz thalak. Saat ia ditanya lagi, ia menjawab,”Dalam kasus thalak ini saya berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, yang menganggap sah satu lafadz dengan niat thalak ba’in (thalak tiga yang mengharamkan ruju’ kecuali setelah istrinya menikah dan dicerai oleh orang lain)”.
Menilik kasus diatas, mungkinkah terjadi dalam kehidupan nyata? Jawabannya, sangat mungkin, karena dipicu oleh beberapa faktor penyebab ; Pertama: Kejahilan (baca ketidaktahuan) seseorang dalam memahami ajaran agamanya, Kedua , Keinginan nafsunya yang ingin menang dan benar sendiri dengan mencari legitimasi atas perilaku salahnya, Ketiga, Lingkungan pemahaman dan pengamalan Islam yang kurang sehat, dimana ia setiap hari beraktifitas di dalamnya.
Gambaran cerita di atas menggambarkan peristiwa talfiq, apa itu talfiq, bagaimana hukumnya, dan begaimana pendapat para ulama tentangnya, akan dibahas dalam makalah ini.


II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi acuan penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan talfiq?
2. Apa sajakah yang menjadi ruang lingkup talfiq?
3. Bagaimanakah Sudut pandang Ulama tentang talfiq?
4. Bagaimanakah Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq?
5. Bagaimanakah Bentuk Talfiq yang diperbolehkan?
6. Bolehlah Meneliti dan memilih pendapat yang ringan?
III. TALFIQ DALAM ISLAM
A. Definisi Talfiq

Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Usul al-fiqh:
1. Talfiq berarti, mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah(rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampuradukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
2. Beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
3. Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
4. Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .
contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudlu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudlu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudlunya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudlu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok .
2. Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudlu, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudlu seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun .
Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syaraiat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.
Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama` .

2. Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
B. Ruang lingkup talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah (ibadah mahdloh), karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan dlorurot. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
3. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.
C. Sudut pandang Ulama tentang talfiq:
Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, dikarenakan tidak ada dalil yang jelas tentang perbolehan atau larangan untuk bertalfiq, sebagian pendapat para ulama adalah sebagai berikut:
1. Syeih Syihab Al-Romly dari golongan Syafi`iyyah berpendapat, ketika Madzhab sudah dibukukan dan ada seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yg lain itu diperbolehkan. Dan juga ketika seseorang bertaqlid pada satu mujtahid kemudian dalam beberapa masalahan yg lain dia ikut mujtahid yang lain lagi itu juga diperbolehkan, akan tetapi tidak dengan alasan mengambil rukhsoh
2. Demikian juga Syeih Abdul Ro`uf Al-Manawy dari golongan Syafi`iyyah juga dalam kitab karangan beliau Syarhu Al-Jami` Al-Shoghir berpendapat, bahwasanya talfiq yg di dalamnya terkandung dua hakikat yang kompleks (murokkab) maka itu tidak diperbolehkan karena menyalahi ijma`.
3. Imam Walidy dari kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwasanya seseorang itu tidak berkewajiban mengikuti satu madzhab yang ditentukan, dan diperbolehkan untuk dia mengikuti pendapat imam madzhab lain.
4. Imam Ghozali berpendapat untuk melarang praktek talfiq dengan alasan beliau bahwasanya hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syariat menurut beliau datang untuk mengekang liarnya atau tidak terkontrolnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara yang diperbolehkan seseorang untuk mengikuti pada selain madzhabnya, itu harus dikembalikan kepada syari‘at, bukan kepada hawa nafsu belaka. Beliau menyitir ayat Al-Quran yang berbunyi:
artinya :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt” .
5. Imam `Izzudin bin Abdi Al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil ruhshoh beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan beliau bahwa agama Allah itu mudah (dinu allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan”.
6. Imam Al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
D. Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .
Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yang menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya untuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.
Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas (shorih) atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al Baqoroh ayat 185 yang artinya :“Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.
E. Bentuk Talfiq yang diperbolehkan
Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri . Dan ketentuan kebolehan taklid itu sendiri ialah, ketika memang benar benar membutuhkan dan darurat sekali, serta tidak bermain main atau sengaja mengambil kemudahan dengan tanpa pertimbangan kemaslahatan syari`at. Dan talfiq ini juga terbatas pada sebagian hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, mu`amalah dan ijtihadiyah, bukan pada masalah qot`iyyah (yang telah pasti). Sesungguhnya kebenaran tentang kebolehan talfiq dan pelarangannya, dapat ditinjau dari aspek yang ditimbulkannya. Yang pertama, apabila sesuatu tersebut mengahantarkan kepada sesuatu yang menghancurkan harapan dari kemaslahatan syari’ah dan ketetapan atas kebijaksanaan syari’ah itu sendiri, maka hal seperti inilah yang dilarang dan dinilai membahayakan. Dan yang kedua, apabila sesuatu perkara tersebut bersifat membaguskan dan menggunakan kebijaksanaan syari’ah itu sendiri untuk menyenangkan manusia di dua sudut permasalahan dengan kemudahan pelaksanaan ibadah atasnya dan menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka hal yang seperti ini yang diperbolehkan.

F. Meneliti dan memilih pendapat yang ringan
Setelah kita membahas banyak tentang talfiq di atas tadi, tak lengkap kiranya kalau kita tidak membahas permasalahan tentang meneliti dan memilih pendapat yang ringan, karena permasalahan ini dengan talfiq seperti mata rantai yang tak mungkin terpisahkan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, bahwasannya dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama` pada masalah-masalah tersebut .

Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut di dalam madzhab-madzhab, karena hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Imam Ibnu Abdu Al-Barr dan Ibnu Hazm berpendapat, tidak diperbolehkan kepada orang awam mengikuti pendapat yang ringan-ringan secara keseluruhan, dikarenakan menyebabkan pemutusan pembebanan disetiap masalah yang diperselisihkan didalamnya.
Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yg rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.
Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama.

Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Menanggapi tentang permasalahan di atas, Syeih Muhammad Al-Baghdadi menyebutkan beberapa sebab pelarangan talfiq bagi orang Awam yaitu sebagai berikut ;
1. Ditakutkan terjadinya sesuatu yang dilarang yang akan menyalahi kesepakatan Ulama’ (ittifaq).
2. Tidak disahkannya orang awam melakukan taqlid kecuali pendapatnya (fatwa) dari seseorang yang khusus yang ingin diikutinya.
Sedang menurut imam Nawawi dalam kitab Raudloh karangan beliau, mengutarakan bahwasanya hal seperti itu tidak termasuk fasiq. Mengenai ini imam Al-Izzu bin Abdi Al-Salam juga berkomentar, bahwasannya di anjurkannya seorang awam mengambil pendapat yang paling mudah, karena mengambil rukhshoh tersebut disukai, sebagaimana hadits nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwasannya “ Rosulullah Saw menyukai suatu perkara yang memudahkan umatnya”.
Pada masa sekarang, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, ada yang mengklaim kebenaran masing-masing madzhabnya, mereka mewajibkan para pengikut madzhabnya untuk berpegang teguh kepada madzhab yang dianutnya, mengharuskan mereka untuk mengambil semua pendapat Imam madzhabnya, bila ada seseorang yang mengambil pendapat madzhab lain dalam satu masalah, mereka anggap itu talfiq (mencampuraduk madzhab) dan tidak konsisten.

Jadi mereka sangat terbuka dalam pendapat-pendapat mereka, mari kita simak sebagian perkataan-perkataan mereka ; Imam Malik berkata, Setiap perkataan manusia bisa diikuti, bisa juga dibantah, kecuali pendapat penghuni makam ini (sambil menunjuk makam Rasulullah SAW)”

Imam Syafi’i berkata “Jika kalian mendapati dalam kitabku, pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku”.
Imam Ahmad berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.
Imam Hanafi berkata, “Celakalah kamu, wahai Abu Yusuf, janganlah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dariku, karena kadang saya berpendapat hari ini dan besok aku tinggalkan (berpendapat lain), dan besok aku berpendapat begini, lalu aku tinggalkan lusanya..”.
Sehingga berkembang dikalangan mereka sebuah idiom kala itu bahwa “Jika hadits itu shahih (benar) maka itulah madzhabku” karena para Imam madzhab itu bersepakat bahwa dalam masalah apapun, tanpa terkecuali, akan mereka kembalikan kepada sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wasallam, tanpa mempedulikan pendapat orang, siapapun orang tersebut.

Kesimpulannya, setelah ditelaah maka akan didapatkan bahwa madzhab utama para Imam madzhab tersebut terdiri atas tiga prinsip utama ; Pertama, Keshahihan (validitas) hadits dari rasulullah SAW, Kedua, Jika pendapat mereka bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, maka mereka akan meninggalkan pendapat mereka dan selanjutnya mengambil pendapat Rasulullah SAW, Ketiga, Jika ada hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat mereka dalam suatu masalah, maka mereka akan menarik/mencabut pendapat mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal.

Sehingga tak heran, bila terjadi seorang pengikut salah satu madzhab, justru berpendapat dengan pendapat Imam madzhab lain, seperti terjadi saat Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ yang lebih berpendapat bahwa penafsiran shalat wustha dalam Al Qur’an adalah shalat ashar berdasarkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah SAW dari pada pendapat lain yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat shubuh. Padahal penafsiran shalat wustha dengan shalat shubuh adalah pendapat Imam Syafi’i dimana Imam Nawawi merupakan pengikut Imam Syafi’i (As-Syafi’iyyah). Disini nampak betapa jernih dan rasionalnya cara berfikir Imam Nawawi, jauh dari kesan ‘ashabiyyah (fanatisme sempit), taqlid buta, pokok’e jare ....... (pokoknya kata ..... pasti benar !).

Mereka lebih mengedepankan nash-nash yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam diatas semua pendapat manusia, mereka lebih mengutamakan prilaku dan tindakan Rasulullah dari tindakan siapapun juga karena kedudukan dan martabat Rasulullah jauh lebih tinggi dari kedudukan dan martabat siapapun juga. Betapa tegas dan elegannya pendapat ini sebab pendapat semacam ini akan membuat hati kaum Mu’minin dingin dan tenang karena kebenaran kembali kepada posisinya yang semula.

Contoh kisah diatas adalah sebuah contoh dari talfiq (mencampuraduk madzhab) dalam konotasi yang negatif, dimana si Fulan begitu mudahnya berpindah madzhab, bukan lantaran mengikuti pendapat yang lebih rajih (kuat) tapi lebih karena memilih pendapat madzhab yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya, inilah yang harus kita hindari.

Adapun talfiq dalam pengertian yang positif sebagaimana dipraktekkan oleh para imam madzhab, adalah sebuah keniscayaan dimana setiap Muslim dan Muslimah dituntut untuk mengetahui dan mengamalkannya dalam prinsip ; Muslim bermadzhab “In shahhal hadiitsu fahuwa madzhabi (Jika ada hadits yang lebih shahih, maka itu adalah madzhabku ....”.

IV. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas, di simpulkan:
1. Pengertian Talfiq adalah Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun
2. Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq
3. Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, ada yang membolehkan, ada yang melarang, ada pula yang membolehkan dengan beberapa persyaratan, sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas.
4. larangan talfiq tidak bersifat absolut, kerena tidak ada dalil yang shorih tentang pelarangan tersebut.
5. Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
1. Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
2. Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri .
6. Para ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya talfiq dengan alasan kesengajaan mengambil pendapat yang ringan, ada yang membolehkan ada pula yang melarang.
V. DAFTAR PUSTAKA
azharku.wordpress.com
http://kaumsarungan.blogspot.com/
http://gusfathulbari.blogspot.com/2009/12/arsip-pertanyaan-3.html
http://staimaarifjambi.blogspot.com/2009_01_01_archive.html

0 komentar:

MY NEW BLOG © 2008 Por *Templates para Você*