Laporan PPL di SMAN 1 Sangatta

Kamis, 10 Juni 2010

Antara Khuntsa dan Waria serta Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin

Pada dasarnya Allah menciptakan manusia ini dalam dua jenis saja, yaitu laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah swt:

“Dan Dia (Allah) menciptakan dua pasang dari dua jenis laki-laki dan perempuan.“ (Qs An Najm : 45)

“Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.“ (Qs Al Hujurat : 13)

Tetapi di dalam kenyataannya, kita dapatkan seseorang tidak mempunyai status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Bagaimana Islam memandang orang tersebut? Bagaimana cara memperlakukannya? Apakah dia mendapatkan jatah warisan? Dan bagaimana pernikahannya? dan seabrek pertanyaan-pertanyaan lain yang timbul akibat status yang tidak jelas tersebut.


Antara Khuntsa dan Waria

Al Khuntsa, dari kata khanitsa yang secara bahasa berarti: lemah dan lembut. Maka dikatakan: Khannatsa Ar Rajulu Kalamahu, yaitu: laki-laki yang cara bicaranya seperti perempuan, yaitu lembut dan halus. (al Fayumi, al-Misbah al Munir - Kairo, Daar al Hadist, 2003,- hlm : 112)

Al-Khuntsa secara istilah adalah: seseorang yang mempunyai dua kelamin; kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau orang yang tidak mempunyai salah satu dari dua alat vital tersebut, tetapi ada lubang untuk keluar air kencing. (al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 , Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adilatuhu: 8 / 426).

Adapun waria atau dalam bahasa Arabnya disebut al Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan dalam kelembutan, cara bicara, melihat, dan gerakannya. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari.


Waria ini terbagi menjadi dua:

Pertama: orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut sejak dilahirkan, maka tidak ada dosa baginya, karena sifat-sifat tersebut bukan atas kehendaknya, tetapi dia harus berusaha untuk menyesuaikan diri.

Kedua: orang yang sebenarnya laki-laki, tetapi sengaja menyerupai sifat-sifat wanita. Orang seperti ini termasuk dalam katagori yang dilaknat oleh Allah swt dan Rasulullah saw di dalam beberapa hadistnya.

Dari keterangan di atas, bisa dinyatakan bahwa waria bukanlah khuntsa. Karena waria statusnya sudah jelas, yaitu laki-laki, sedang khuntsa statusnya masih belum jelas.

Perbedaan antara istilah khuntsa dan waria seperti yang diterangkan di atas sangat membantu bagi kita untuk membahas hukum-hukum yang menyangkut keduanya.


Cara menetapkan Status Khuntsa

Sudah dijelaskan di atas, bahwa waria itu statusnya adalah laki-laki, maka di sini hanya diterangkan tata cara menetapkan status khuntsa. Namun sebelumnya, perlu disebutkan bahwa khuntsa ada dua macam:

1. Khuntsa Ghoiru Musykil (khuntsa yang mudah ditentukan statusnya)

2. Khuntsa Musykil (khuntsa yang sulit ditentukan statusnya)

Khuntsa Ghoiru Musykil

Untuk menetapkan Khuntsa Ghoru Musykil, para ulama telah menjelaskan cara-caranya, walaupun hal itu belum menjadi kesepakatan ulama. Paling tidak bisa menjadi pedoman awal di dalam menentukan status seorang khuntsa, di antara cara-cara tersebut adalah:

1. Melihat cara keluar air kencingnya.

Bila air kencingnya keluar lewat penis, berarti waria tersebut dihukumi sebagi laki-laki. Sebaliknya jika air kencingnya keluar dari vagina, maka dia dihukumi sebagai perempuan. Bagaimana jika air kencingnya keluar dari keduanya? Bila air kencing tersebut keluar dari kedua alatnya, maka ditentukan dengan yang terlebih dahulu keluar. Jika yang keluar terlebih dahulu dari penis, maka dihukumi laki-laki, begitu juga sebaliknya. Jika keluar air kencingnya bersamaan, maka dilihat mana yang lebih lama keluarnya. Jika keluar dari kedua alat kelamin secara bersamaan dan selesainya juga secara bersamaan, maka khuntsa tersebut dihukumi khuntsa musykil.

2. Melihat cara keluarnya sperma atau air mani.

Bila sperma khuntsa keluar dari alat kelamin lelaki, berarti status hukumnya lelaki dan bila keluar dari vagina berarti statusnya perempuan. Jika keluarnya berubah-ubah, kadang dari alat kelamin laki-laki dan kadang-kadang dari alat kelamin perempuan, maka dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.

3. Keluarnya darah haidh.

Bila seorang khuntsa mengeluarkan darah haidh dari kemaluannya, maka dikatagorikan perempuan, karena laki-laki tidak akan keluar darah haidh dari kemaluanya. Jika ia mengeluarkan darah haidh dari vagina, tetapi dia mengeluarkan kencing dari alat kelamin laki-laki, maka dalam hal ini dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.

4. Kehamilan dan melahirkan.

Bila seorang khuntsa hamil dan melahirkan, maka dihukumi sebagai perempuan.

5. Pertumbuhan organ tubuh.

Bila waria tersebut ia berkumis atau berjenggot, serta mempunyai kecenderungan untuk mendekati perempuan dan mempunyai raca cinta kepada mereka, maka waria tersebut dihukumi sebagai laki-laki. Sebaliknya jika payudaranya tumbuh dan montok, dan mempunyai kecenderungan dan rasa cinta kepada laki-laki, maka dia ditetapkan sebagai perempuan. (Ibnu al Hammam, Fathu al Qadir : 10/515-516, al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168)

Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa Islam pada dasarnya tidak membiarkan seorang khuntsa begitu saja tanpa status, sehingga diambil langkah-langkah untuk menentukan jenis kelaminnya melalui cara-cara di atas. Jika para ulama dan ahli sudah menentukan seorang khuntsa, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempaun, maka status tersebut berlaku baginya untuk mendapatkan hak-haknya, sekaligus dia mempunyai kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana orang laki-laki atau perempuan yang lainnya.

Khuntsa Musykil

Khuntsa Musykil (khuntsa yang sulit ditentukan statusnya), yaitu seseorang yang ditakdirkan Allah mempunyai fisik yang mendua atau memiliki dua jenis alat kelamin; laki-laki dan perempuan, dan kedua-duanya sama-sama dominan, tidak bisa dibedakan lagi mana yang lebih berpengaruh terhadap kepribadiannya.

Untuk Khuntsa Musykil seperti ini, para ulama pun masih berbeda pendapat akan statusnya, terutama di dalam menentukan jatah warisan, cara menikah, dan lain sebagainya.

Hukum Operasi Kelamin

Dalam dunia kedokteran dikenal tiga bentuk operasi kelamin, masing-masing mempunyai hukum tersendiri dalam fikih:

Pertama, operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Operasi ganti kelamin dalam keadaan seperti ini, belum pernah dikenal oleh orang-orang terdahulu. Tetapi para dokter mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari penyakit “transeksual/transgender“, yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki yang seperti wanita atau wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai kelainan fisik/ alat kelamin (genital). Atau dengan istilah lain, bahwa sang penderita atau pasien merasakan bahwa dirinya adalah jenis lain yang bukan pada dirinya. Seakan ia merasakan bahwa jiwanya adalah perempuan, padahal fisiknya adalah laki-laki, atau ia merasakan bahwa jiwanya adalah laki-laki, padahal bentuk fisiknya adalah perempuan. Antara jiwa dan fisik tidak dapat saling menyatu.

Orang yang mempunyai penyakit transeksual ini mempunyai dua keadaan:

Keadaan pertama: Penyakit ini muncul akibat faktor psikologis dan kejiwaan. Hal ini terjadi karena salah dalam pola asuh sejak kecil, atau karena pergaulan yang salah.

Untuk jenis yang pertama ini, penanganannya bukan dengan cara operasi kelamin, tetapi kejiwaannyalah yang harus diobati dan disembuhkan. Penyimpangan psikologis ini kadang muncul sejak kecil, hanya saja sering dianggap remeh, sehingga lama kelamaan menjadi semakin besar dan akhirnya susah untuk diubah, dan ujung-ujungnya menganggap ini sebagai takdir, padahal itu hanya karena kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak kecil dan lama, serta tidak terkait dengan fisiknya.

Islam sejak dini telah mengajarkan kepada kita untuk memisahkan tempat tidur laki-laki dan perempuan ketika sudah berumur 10 tahun, salah satu tujuannya agar mereka tidak berkepribadian ganda di kemudian hari.

Kesimpulannya, bahwa operasi mengubah kelamin dari orang yang mempunyai kelamin normal dalam bentuk yang pertama seperti ini hukumnya haram, karena tidak ditemukan hubungan antara ketidaknormalan fisik atau organ tubuh seseorang. (Dr. Muh. Mukhtar as-Syenkiti, Ahkam al-Jirahiyah at-Tibbiyah, Jeddah, Maktabah as-Shohabah,hlm. 200-202)

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

Pertama: Pada dasarnya, Allah swt telah menciptakan manusia ini dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah swt:


“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.“ (Qs At Tin : 4)

Penciptaan manusia dalam bentuk yang baik tersebut merupakan penghormatan kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam dan Kami bawa mereka di daratan dan di lautan.“ (Qs Al Isra’ : 70)

Oleh karenanya, kita sebagai hamba Allah dilarang untuk mengubah ciptaan-Nya yang sudah sempurna. Larangan ini tersebut di dalam firman Allah swt ketika menceritakan perkataan syetan:


“(Syetan berkata): Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong-motong telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata “ (Qs An Nisa’ : 119)

Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa awal tindakan mengubah ciptaan Allah swt berasal dari bisikan syetan.

Rasulullah saw sendiri bersabda:

“Rasulullah telah melaknat orang-orang laki-laki yang meniru-niru (menyerupai) perempuan dan perempuan yang meniru-niru (menyerupai) laki-laki.“ (HR Bukhari)

Berkata Imam Qurtubi: “ Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih dari Hijaz dan ahli fikih dari Kufah bahwa mengebiri keturunan Adam hukumnya haram dan tidak boleh, karena termasuk dalam katagori menyiksa.“ (Tafsir Qurtubi : 5 / 391)

Kalau mengebiri saja tidak boleh, yaitu perbuatan untuk memandulkan alat kelamin, apalagi mengubah dan menggantikannya, tentunya sangat diharamkan.

Keadaan kedua: waria yang disebabkan adanya perbedaan keadaan psikis dan fisik seseorang, seperti ketidaknormalan sistem tubuh atau terjadi percampuran hormon laki-laki dan perempuan, yang berakibat munculnya perasaan dalam dirinya yang berbeda dengan fisik tubuhnya. Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama: bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaannya seperti ini tetap tidak boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dasarnya adalah ayat-ayat al Qur’an dan hadist-hadits yang telah disebutkan di atas.

Pendapat kedua: bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaanya seperti ini, dibolehkan. Ini adalah pendapat sebagian kecil ulama kontemporer.

Di antara dalil dari pendapat ini adalah sebagai berikut:

1) Menurut kesaksian mayoritas dokter bahwa memang benar adanya orang yang mempunyai penyakit seperti ini, mereka menyebutnya dengan transeksual, yaitu terpisahnya antara bentuk fisik dengan psikis, yaitu bentuk fisiknya adalah laki-laki umpamanya, tetapi perasaannya bahwa dia bukanlah laki-laki. Penyakit ini menyebabkan orang tersiksa dalam hidupnya, sehingga kadang-kadang diakhiri dengan bunuh diri. Pengobatan secara kejiwaan sudah dilakukan berkali-kali oleh para dokter, tetapi tetap saja gagal. Maka tidak ada jalan lain kecuali operasi ganti kelamin.

2) Keadaan seperti ini bisa dikatagorikan darurat. Karena tanpa operasi tersebut seseorang tidak akan bisa hidup tenang dan wajar sebagaimana yang lain, hidupnya akan dirundung kegelisahan demi kegelisahan, dan tidak sedikit yang diakhiri dengan tindakan bunuh diri.

3) Kalau kita perhatikan bahwa yang menyebabkan diharamkannya operasi ganti kelamin secara umum atau dalam keadaan normal adalah karena dua alasan :

Alasan pertama: bahwa hal tersebut termasuk mengubah ciptaan Allah swt, sebagaimana yang tersebut dalam Qs An Nisa’ : 119 di atas.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas, Anas, Ikrimah, dan Abu Sholeh bahwa yang dimaksud mengubah ciptaan Allah adalah mengebiri, mencongkel mata, serta memotong telinga. Sedangkan Imam Qurtubi di dalam tafsirnya dengan menukil perkataan Qhadhi ‘Iyadh bahwa seseorang yang mempunyai jari-jari tangan lebih dari lima atau daging tambahan di dalam tubuhnya, maka tidak boleh dipotongnya, karena termasuk dalam katagori mengubah ciptaan Allah, kecuali kalau jari-jari tangan atau daging tambahan tersebut terasa sakit, nyeri dan menyebabkannya menjadi menderita, maka dalam keadaan seperti ini, diperbolehkan untuk memotongnya. (Tafsir Qurtubi : 5/252)

Perkataan Qadhi ‘Iyadh yang dinukil oleh Imam Qurtubi di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa sesuatu tambahan dalam tubuh yang berupa daging atau yang lain dan menyebabkan sakit si penderita, maka diperbolehkan untuk menghilangkannya, dan hal ini dimasukkan dalam katagori berobat, yang kadang harus mengubah ciptaan Allah swt. Karena sebenarnya yang dilarang dalam masalah ini adalah mengubah ciptaan Allah tanpa ada alasan syar’i atau hanya karena ingin memperindah anggota tubuh saja. Tetapi jika bertujuan untuk mengobati, maka dibolehkan.

Atas dasar keterangan di atas, maka operasi ganti kelamin yang dilakukan oleh orang yang mengidap penyakit transeksual pada jenis kedua ini, bisa dikatakan bahwa organ tubuhnya secara fisik yang ada sekarang adalah organ tambahan, karena tidak sesuai dengan kejiwaan dan perasaannya, sehingga jika diubah menjadi organ yang sama dengan kejiwaan dan perasaannya, maka termasuk dalam proses pengobatan dari rasa sakit yang dialaminya, dan memang tidak ditemukan obat selain operasi ganti kelamin.

Alasan kedua: bahwa operasi ganti kelamin termasuk dalam katagori menyerupai jenis lain yang dilarang oleh Rasulullah saw. Tetapi para ulama telah menjelaskan bahwa yang dilarang dalam masalah ini adalah menyerupai jenis di dalam berpakaian, berhias, bertutur kata dan cara berjalan. Hal ini disimpulkan dari dalil–dalil lain. Oleh karenanya, Imam Nawawi menyatakan bahwa waria yang ada semenjak lahir, tidak termasuk dalam katagori yang dilarang oleh Rasulullah saw, karena mereka tidak bisa meninggalkan gaya-gaya tersebut yang dibawanya dari lahir, walaupun sudah diobati berkali-kali, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari.

Demikianlah beberapa dalil yang diungkapkan oleh kelompok kedua yang membolehkan bagi seseorang yang terkena penyakit transeksual jenis kedua dan tidak bisa diobati lagi secara psikis, maka dibolehkan untuk melakukan operasi ganti kelamin, dan ini termasuk keadaan darurat.

Catatan : Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, supaya tidak terjadi salah paham, bahwa yang dibolehkan adalah orang-orang yang benar-benar punya penyakit seperti ini, tentunya harus direkomendasikan oleh dokter-dokter yang ahli, jujur, dan amanah. Begitu juga setelah melalui rekomendasi para ulama yang diakui amanah dan otorits keilmuaannya.

Hukum tersebut tidak berlaku bagi orang yang melakukan operasi ganti kelamin, hanya karena sekedar iseng, atau hanya sekedar “merasa” dirinya lebih cocok menjadi orang berjenis kelamin yang berbeda dengan keadaannya sekarang, padahal penyakitnya tersebut belum diteliti dan belum ada usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk menyembuhkannya.

Kedua: Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti penis atau vagina yang tidak berlubang. Operasi seperti ini dibolehkan, karena termasuk dalam katagori pengobatan. Karena pada dasarnya manusia itu ciptaannya sempurna, maka jika didapati beberapa bagian anggota tubuhnya tidak normal atau tidak berfungsi, seperti vagina yang tidak berlubang, atau penis yang tidak berlubang sehingga tidak bisa buang air kecil, maka dibolehkan baginya untuk melakukan operasi perbaikan kelamin, dengan tujuan agar salah satu organ tubuhnya tersebut berfungsi sebagaimana yang lain. Rasulullah saw bersabda :

“Wahai hamba-hamba Allah berobatlah, karena Allah menjadikan setiap penyakit itu ada obatnya.“

Jadi operasi kelamin yang cacat sejak kecil atau karena suatu kecelakaan termasuk dalam katagori berobat dan bukan dalam katagori mengubah ciptaan Allah swt.

Ketiga: Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki 2 (dua) jenis kelamin yaitu penis dan vagina.

Orang yang mempunyai kelamin ganda dalam dunia medis disebut “ ambiguous genitalia” yang artinya alat kelamin meragukan. Orang tersebut tidak menderita penyakit “transeksual”, tetapi lebih cenderung kepada interseksual, yaitu suatu kelainan, di mana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Gejalanya sangat bervariasi, mungkin saja tampilan luarnya adalah laki-laki normal atau wanita normal, tetapi alat kelaminnya yang masih meragukan apakah dia laki-laki atau perempuan. Penderita seperti ini memang benar-benar sakit secara fisik, yang kemudian mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Maka, operasi pada orang yang mempunyai kelamin ganda seperti ini dibolehkan, tentunya setelah ada kejelasaan statusnya, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara-cara yang telah diterangkan di atas dan dikuatkan dengan pernyataan para dokter ahli dan amanah. Biasanya operasi dilakukan ketika anak tersebut masih bayi dan belum beranjak dewasa, jika sudah dewasa tentunya akan lebih susah lagi, karena mungkin itu akibat salah pola asuh dan pola interaksi dari lingkungan sekitar.

Karena kalau seseorang dibiarkan dalam status yang tidak jelas, maka sungguh kasihan hidupnya, dan masyarakat pun kesulitan untuk berinteraksi dengannya karena statusnya yang belum jelas, apakah dia itu laki-laki atau perempuan. Oleh karenanya operasi untuk membuang salah satu dari dua jenis kelamin dibolehkan, karena akan membawa kemaslahatan bagi yang bersangkutan dan kemaslahatan bagi masyarakat yang ia hidup di dalamnya.

Di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Sultana Mh Faradz telah diterbitkan Surat Keputusan Men Kes RI No. 191/MENKES/SK/III/1989 tentang penunjukan rumah sakit dan tim ahli sebagai tempat dan pelaksanaan operasi penyesuaian kelamin. Pada tanggal 12 juni 1989 telah dibentuk Tim Pelaksana Operasi Penggantian Kelamin yang terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi, anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internist), ahli genetika, andrologi, psikiater, ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama, dan petugas sosial medik.

Tetapi sejak tahun 2003 ada perubahan kebijakan bahwa Tim Penyesuaian Kelamin hanya boleh melakukan operasi penyesuaian kelamin untuk penderita interseksual --dan tidak pada penderita transeksual-- yang membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital, dan pengobatan. Semua kasus yang datang akan didata, diperiksa laboratorium rutin, analisis kromosom dan DNA, pemeriksaan hormonal, dan test-test lain yang dianggap perlu seperti USG, foto ronsen, dan lain-lain.

Kegiatan tim ini adalah melaksanakan pertemuan rutin secara multidisipliner antara seluruh anggota tim dengan penderita (yang telah selesai dengan pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis) untuk mendiskusikan penatalaksanaan, tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan termasuk pemberian konseling. Wallahu A’lam. [Jakarta, 22 Muharram 1431/ 8 Januari 2010/www.hidayatullah.com]



Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin

dakwatuna.com – Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan memakai kerudung segala. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual. Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang masalah transgender tersebut dan bagaimanakah hukum operasi kelamin serta mengubah-ubah jenis kelamin serta peran dokter dan para medis dalam hal ini. Apa konsekuensi hukum dari pengubahan alat kalamin tersebut misalnya menyangkut pembagian warisan, ibadah dan interaksi sosial.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. []

DIrangkum dari berbagai sumber

0 komentar:

MY NEW BLOG © 2008 Por *Templates para Você*